Langsung ke konten utama

Desentralisasi Pendidikan Nasional

a. Pengertian Desentralisasi Pendidikan
Secara etimologis, istilah desentralisasi berasal dari bahasa Latin de, artinya lepas dan centrum, yang berarti pusat, sehingga bisa diartikan melepaskan dari pusat. Sementara, dalam Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan bahwa desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Secara umum desentralisai pendidikan adalah pelimpahan wewenang (autority) dan tanggung jawab (responsibility) dari institusi pendidikan tingkat pusat kepada institusi pendidikan di tingkat daerah hingga pada tingkat sekolah. Desentralisasi mengandung arti pelimpahan kekuasaan oleh pusat kepada aparat pengelola pendidikan yang ada di daerah pada tingkat propinsi maupun lokal, sebagai perpanjangan aparat pusat untuk meningkatkan efisiensi kerja dalam pengelolaan pendidikan di daerah.[
Pengertian desentralisasi pendidikan menurut (Hurst dalam Nugroho, 2000: 2), “the decentralization process implies the transfer of certain function from small group of policy-makers to a small group of authorities at the local level” dengan kata lain desentralisasi merupakan proses penyerahan fungsi-fungsi tertentu dari sekelompok kecil pembuat kebijakan kepada satu kelompok kecil pemegang kekuasaan pada tataran lokal. Definisi Hurst tersebut telah menggambarkan dengan jelas proses penyerahan fungsi-fungsi pemerintahan yang kemudian diberikan kepada pemerintah daerah. Sedangkan pengertian desentralisasi menurut (Chau dalam Nugroho, 2000: 2), desentralisasi pada konsep pendelegasian kekuasaan kepada pemerintah daerah, dengan tujuan meningkatkan efisiensi dalam penggunaan sumberdaya.
Pengertian desentralisasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengemukakan bahwa sistem pemerintahan yang lebih banyak memberikan kekuasaan kepada pemerintah daerah. Selanjutnya, pengertian desentralisasi menurut (Hoogerwert dalam Hasbullah, 2010: 5), desentralisasi adalah sebagai pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umum yang lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan kepentingan sendiri mengambil keputusan pengaturan pemerintahan, serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu.
Dari beberapa pernyataan yang telah dikemukakan dapat disimpulkan bahwadesentralisasi pendidikan adalah suatu proses di mana suatu lembaga yang lebih rendah kedudukannya menerima pelimpahan kewenangan untuk melaksanakan segala tugas pelaksanaan pendidikan, termasuk pemanfaatan segala fasilitas yang ada serta penyusunan kebijakan dan pembiayaan.
Otonomi pendidikan menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 adalah terungkap pada Bak Hak dan Kewajiban Warga Negara, Orang tua, Masyarakat dan Pemerintah.Pada bagian ketiga Hak dan Kewajiban Masyarakat Pasal 8 disebutkan bahwa “Masyarakat berhak berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan; pasal 9 Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.
 Begitu juga pada bagian keempat Hak dan Kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah, pasal 11 ayat (2) “Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai lima belas tahun”. Khusus ketentuan bagi Perguruan  Tinggi, pasal 24 ayat (2) “Perguruan Tinggi memiliki otonomi untuk mengelola sendiri lembaganya sebagai pusat penyelenggaraan pendidikan tinggi, penelitian ilmiah, dan pengabdian kepada masyarakat.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa konsep otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup filosofi, tujuan, format dan isi pendidikan serta manajemen pendidikan itu sendiri. Implikasinya adalah setiap daerah otonomi harus memiliki visi dan misi pendidikan yang jelas dan jauh ke depan dengan melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang trend perkembangan penduduk dan masyarakat untuk memperoleh konstruk masyarakat di masa depan dan tindak lanjutnya, merancang sistem pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika dalam perspektif tahun 2020.
Kemandirian daerah itu harus diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tentang kondisi daerah sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dan mantap dalam upaya mengangkat  harkat dan martabat masyarakat daerah yang berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang bermutu dan produktif.

b.    Tujuan Desentralisasi Pendidikan
Terdapat delapan tujuan utama desentralisasi menurut (Hanson dalam Hadiyanto, 2004: 27), yaitu:
1.      Mempercepat pertumbuhan ekonomi (accelerated economic development),
2.      Meningkatkan efesiensi manajemen (increased management efficiency),
3.      Distribusi tanggung jawab dalam bidang keuangan (redistribution of financial responsibility),
4.      Meningkatkan demokratisasi mealalui distribusi kekuasaan (increased democratization trough the  distribution of power),
5.      Control local menjadi lebih besar melalui deregulasi (greater local control trough deregulation),
6.      Pendidikan berbasis kebutuhan pasar (market-based education),
7.      Menetralisasi pusat-pusat kekuasaan (neutralizing competing centers of power),
8.      Meningkatkan kualitas pendidikan (improving the quality of education),

Menurut Hadiyanto (2004: 30), secara konseptual, terdapat dua jenis desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.      Desentralisasi kewenangan di sektor pendidikan dalam hal kebijakan pendidikan dan aspek pendanaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah (propinsi dan distrik)
2.       Desentralisasi pendidikan dengan fokus pada pemberian kewenangan yang lebih besar di tingkat sekolah
Konsep desentralisasi pendidikan yang pertama terutama berkaitan dengan otonomi daerah dan desentralisasi penyelenggaraan pemerintahan dari pusat ke daerah, sedangkan konsep desentralisasi pendidikan yang memfokuskan pada pemberian kewenangan yang lebih besar pada tingkat sekolah dilakukan dengan motivasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan.
Adapun tujuan dan orientasi dari desentralisasi pendidikan sangat bervariasi berdasarkan pengalaman desentralisasi pendidikan yang dilakukan di beberapa negara Amerika Latin, di Amerika Serikat dan Eropa. Jika yang menjadi tujuan adalah pemberian kewenangan di sektor pendidikan yang lebih besar kepada pemerintah daerah, maka fokus desentralisasi pendidikan yang dilakukan adalah pada pelimpahan kewenangan yang lebih besar kepada pemerintah lokal atau kepada Dewan Sekolah. Implisit ke dalam strategi desentralisi pendidikan yang seperti ini adalah target untuk mencapai efisiensi dalam penggunaan sumber daya (school resources; dana pendidikan yang berasal yang pemerintah dan masyarakat).
Di lain pihak, jika yang menjadi tujuan desentralisasi pendidikan adalah peningkatan kualitas proses belajar mengajar dan kualitas dari hasil proses belajar mengajar tersebut, maka desentralisasi pendidikan lebih difokuskan pada reformasi proses belajar-mengajar. Partisipasi orang tua dalam proses belajar mengajar dianggap merupakan salah satu faktor yang paling menentukan.
Desentralisasi pendidikan merupakan peluang bagi peningkatan mutu kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dengan kata lain, ia merupakan peluang bagi peningkatan mutu pendidikan di setiap daerah. Hal ini karena perhatian terhadap peningkatan mutu guru, peningkatan mutu manajemen kepala sekolah, peningkatan sarana dan prasarana pendidikan, pembiayaan pendidikan menjadi lebih baik jika dikelola oleh para pejabat pendidikan yang ada di daerah. Pada akhirnya, tujuan desentralisasi pendidikan adalah pada pemerataan mutu pendidikan yang meningkat ini.
Desentralisasi pendidikan merupakan salah satu model pengelolaan pendidikan yang menjadikan sekolah sebagai proses pengambilan keputusan dan merupakan salah satu upaya untuk memperbaiki kualitas pendidikan serta sumber daya manusia termasuk profesionalitas guru yang belakangan ini dirisaukan oleh berbagai pihak baik secara regional maupun secara internasional.
Sistem pendidikan yang selama ini dikelola dalam suatu iklim birokratik dan sentralistik dianggap sebagai salah satu sebab yang telah membuahkan keterpurukan dalam mutu dan keunggulan pendidikan di tanah air kita. Hal ini beralasan, karena sistem birokrasi selalu menempatkan “kekuasaan” sebagai faktor yang paling menentukan dalam proses pengambilan keputusan. Sekolah-sekolah saat ini telah terkungkung oleh kekuasaan birokrasi sejak kekuasaan tingkat pusat hingga daerah bahkan terkesan semakin buruk dalam era reformasi saat ini. Ironisnya, kepala sekolah dan guru-guru sebagai pihak yang paling memahami realitas pendidikan berada pada tempat yang “dikendalikan”. Merekalah seharusnya yang paling berperan sebagai pengambil keputusan dalam mengatasi berbagai persoalan sehari-hari yang menghadang upaya peningkatan mutu pendidikan. Namun, mereka ada dalam posisi tidak berdaya dan tertekan oleh berbagai pembakuan dalam bentuk juklak dan juknis yang “pasti” tidak sesuai dengan kenyataan obyektif di masing-masing sekolah.
Disamping itu pula, kekuasaan birokrasi juga yang menjadi faktor sebab dari menurunnya semangat partisipasi masyarakat terhadap penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dulu, sekolah sepenuhnya dimiliki oleh masyarakat, dan merekalah yang membangun dan memelihara sekolah, mengadakan sarana pendidikan, serta iuran untuk mengadakan biaya operasional sekolah. Jika sekolah telah mereka bangun, masyarakat hanya meminta guru-guru kepada pemerintah untuk diangkat pada sekolah mereka itu.
Pada waktu itu, kita sebenarnya telah mencapai pembangunan pendidikan yang berkelanjutan (sustainable development), karena sekolah adalah sepenuhnya milik masyarakat yang senantiasa bertanggungjawab dalam pemeliharan serta operasional pendidikan sehari-hari. Pada waktu itu, Pemerintah berfungsi sebagai penyeimbang, melalui pemberian subsidi bantuan bagi sekolah-sekolah pada masyarakat yang benar-benar kurang mampu.

c.    Syarat Keberhasilan Proses Desentralisasi Pendidikan
Keberhasilan desentralisasi pendidikan setidaknya akan tergantung pada beberapa faktor pendukung. Di bawah ini akan dikemukakan empat faktor penunjang keberhasilan desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.      Menerapkan deregulasi, meningkatkan fleksibilitas melalui penerapan deregulasi merupakan kunci utama untuk memacu efektivitas desentralisasi pendidikian di daerah dan sekolah. deregulasi merupakan proses pemangkasan jalur birokrasi yang terlalu ketat dan panjang. Deregulasi juga berarti menghilangkan rantai birokrasi yang terlalu banyak. Sebagai system semestinya bukan untuk mempersulit dan memperlambat proses, tetapi sebaliknya memperlancar proses layanan pendidikan yang diperlukan oleh masyarakat.
2.      Menerapkan semiotonom atau melaksanakan desentralisasi secara bertahap dan berkesinambungan.
3.      Melaksanakan kepemimpinan demokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
4.      Menerapkan profesionalitas, transparansi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan desentralisasi pendidikan.

d.     Kelebihan dan Kekurangan Desentralisasi Pendidikan
Menurut Nugroho (2000: 67), sedikitnya terdapat empat kelebihan dari desentralisasi pendidikan:                       
1.      Peningkatan mutu, yaitu dengan kewenangan yang dimiliki sekolah maka sekolah lebih leluasa mengelola dan memberdayakan potensi sumber daya yang dimiliki
2.      Efisiensi Keuangan hal ini dapat dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pajak lokal dan mengurangi biaya operasional
3.      Efisiensi Administrasi, dengan memotong mata rantai birokrasi yang panjang dengan menghilangkan prosedur yang bertingkat-tingkat
4.      Perluasan dan pemerataan, membuka peluang penyelenggaraan pendidikan pada daerah pelosok sehingga terjadi perluasan dan pemerataan pendidikan.
Adapun kelemahan yang mungkin timbul dalam implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
1.      Kurang siapnya sumber daya manusia pada daerah terpencil
2.      Tidak meratanya pendapatan asli daerah, khususnya daera-daerah miskin
3.      Kurangnya perhatian pemerintah maupun pemerintah daerah untuk lebih melibatkan masyarakat dalam pengelolaan pendidikan
4.      Otoritas pimpinan dalam hal ini Bupati, Walikota sebagai penguasa tunggal di daerah kurang memperhatikan dengan sungguh-sungguh kondisi pendidikan di daerahnya sehingga anggaran pendidikan belum menjadi prioritas utama
5.      Kondisi dan setiap daerah tidak memiliki kekuatan yang sama dalam penyelenggaraan pendidikan disebabkan perbedaan sarana, prasarana dan dana yang dimiliki.

Pendapat lain dikemukakan oleh (Smith dalam Kinalova: 2012), kelebihan kebijakan desentralisasi ini memiliki keuntungan-keuntungan sebagai berikut:
1.      Desentralisasi diterapkan dalam upaya pendidikan politik
2.      Untuk latihan kepemimpinan politik
3.      Untuk memelihara stabilitas politik
4.      Untuk mencegah konsentrasi kekuasaan di pusat
5.      Untuk memperkuat akuntabilitas publik
6.      Untuk meningkatkan kepekaan elit terhadap kebutuhan masyarakat lewat pendekatan pelayanan publik
Menurut Smith, keenam hal tersebut di atas bisa tercapai apabila administrasi pemerintah tertata dengan baik. Dalam rangka menyelenggarakan pemerintahan daerah diperlukan admininstrasi pemerintahan daerah yang respon dengan aspirasi dam kebutuhan masyarakat. Oleh karena itu, dengan memahami system administrasi demikian pada tingkat daerah maka hubungan saling terkait antara semua komponen yang terdapat dalam administrasi pemerintahan daerah sebagai satu kesatuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan semakin cepat tercapai. Hal ini sangat dibutuhkan kemitraan dari semua komponen darah.
Selain kelebihan tentunya desentralisasi juga memiliki kelemahan, menurut (Smith dalam Kinalova: 2012), kekurangan desentralisasi yaitu:
1.      Karena jumlah organ-organ pemerintah bertambah banyak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki daerah, maka struktur pemerintahan bertambah kompleks sehingga mempersulit koordinasi.
2.      Hubungan keseimbangan dan keserasian antara berbagai macam kepentingan daerah mudah terganggu.
3.      Desentralisasi teritorial dapat mendorong timbulnya ”sentimen kedaerahan” (etnocentries).
4.      Pengambilan keputusan memerlukan waktu yang lama karena melalui perundingan yang rumit.
5.      Penyelenggaraan desentralisasi memerlukan biaya yang lebih banyak dan sulit dilaksanakan secara sederhana dan seragam.

e.  Analisis Desentralisasi Pendidikan Di Indonesia
Sistem pendidikan yang berlaku di Indonesia secara sentralistis yang hampir kasat mata sudah kelihatan sejak rezim orde baru. Banyak yang menilai bahwa pendidikan pada masa orba tersebut didesain untuk kepentingan politik. Beberapa mata pelajaran, pelatihan-pelatihan, serta program pendidikan lain lebih diarahkan kepada peneguhan nilai-nilai yang kemudian dimanfaatkan dengan baik oleh rezim penguasa. Kondisi tersebut telah dikritik secara habis-habisan oleh YB. Mangunwijaya. Tokoh yang satu ini banyak mengkritik sistem pendidikan nasional pada masa rezim orba yang cenderung sentralistik dan banyak diintervensi oleh penguasa. Pendidikan kemudian hanya berfungsi sebagai alat (media) untuk melanggengkan kekuasaan rezim.[9]
Beberapa kelemahan dan ketimpangan pendidikan yang dikelola secara sentralistis ini sudah kelihatan sejak dimulai  dari pemberlakuan satu kurikulum secara nasional, sampai dengan peranan pusat yang sangat dominan dalam pengelolaan guru (sekolah negeri). Memasuki Indonesia baru yang ditandai dengan gerakan reformasi total, maka pada tahun 1999 mulailah dicetuskan berbagai agenda reformasi, termasuk reformasi dalam dunia pendidikan yang ditandai dengan proses desentralisasi yang diimplementasikan pemerintah melalui UU nomor 22 tahun 1999 tentang otonomi daerah kemudian diubah menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Melalui Undang-Undang tersebut dapat ditangkap prinsip-prinsip dan arah dalam pengelolaan sektor pendidikan dengan mengacu pada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Konsep desentralisasi pendidikan ini pada mulanya memang banyak membawa harapan bagi kalangan pakar dan praktisi pendidikan kita. Orang banyak yang menaruh optimis jika pendidikan di Indonesia akan mengalami perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Namun dalam praktiknya, masih banyak kalangan yang meragukan eksistensi kebijakan pendidikan nasional Indonesia. Berbagai kebijakan pendidikan justru dianggap kontroversial sehingga mimbulkan berbagai kritik. Untuk itu, pemerintah perlu berbenah diri dalam memaknai serta mengaplikasikan makna desentralisasi secara menyeluruh demi menciptakan pendidikan yang berkualitas.
Meskipun demikian, kebijakan desentralisasi pendidikan tidak harus disimpulkan gagal untuk dilaksanakan. Ada hal-hal yang merupakan kekuatan dan peluang bagi keberhasilan implementasi berikutnya. Berikut ini disajikan hasil analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan di Indonesia. Berikut ini hasil identifikasinya melalui analisis SWOT.[10]

1.      Strength (Kekuatan)
Jika digunakan analisis SWOT terhadap implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan ini, maka ada beberapa hal yang dapat diidentifikasikan sebagai faktor kekuatan, yaitu:
a.       Secara politis kebijakan desentralisasi pendidikan telah dikenal luas oleh masyarakat dan merupakan kebijakan yang populis.
b.      Jiwa dan ruh kebijakan desentralisasi pendidikan telah lama diidamkan oleh masyarakat, khususnya dalam menghadapi era persaingan bebas yang mengharuskan masyarakat kita memiliki kompetensi dan daya kompetitif yang tinggi.
c.       Kebijakan ini merupakan bentuk nyata dari diakuinya eksistensi pemerintah daerah dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan bidang pendidikan di daerah masing-masing.



2.    Weakness (Kelemahan)
Disamping adanya kekuatan-kekuatan sebagaimana dikemukakan di atas, kebijakan ini juga memiliki sisi kelemahannya, antara lain adalah:
a.       Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan, khususnya pemerintah daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh justru cenderung menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut.
b.      Tidak meratanya kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah) dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahnya masing-masing, terutama daerah-daerah miskin.
c.       Belum adanya pengalaman dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan akan dijadikan komoditas bagi pemerintah daerah tertentu untuk tujuan-tujuan jangka pendek.
d.      Belum bersihnya aparat birokrasi dari mentalitas dan budaya korupsi.
e.       Belum jelasnya pos-pos anggaran untuk pendidikan.

3.    Opportunity (Peluang)
Berikut ini diinventarisir sejumlah faktor yang diduga kuat dapat menjadi faktor peluang bagi keberhasilan pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
a.       Adanya semangat yang kuat dari masyarakat untuk menjadikan implementasi kebijakan ini (harus) berhasil, karena munculnya kebijakan ini disadari bersama sebagai keinginan masyarakat banyak.
b.      Adanya semangat dari kalangan masyarakat untuk turut serta mengawasi pelaksanaan kebijakan desentralisasi pendidikan di daerah masing-masing. Bahkan muncul banyak LSM atau lembaga non-pemerintah yang merelakan diri memonitor dan mengawasi pelaksanaan kebijakan ini.

4.    Threat (Ancaman/Tantangan)
Selanjutnya adalah faktor ancaman. Ada beberapa faktor yang diduga menjadi faktor ancaman bagi implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan, yaitu:
a.       Tidak meratanya hasil prestasi pendidikan dilihat secara nasional karena sangat dimungkinkan munculnya variasi kualitas di masing-masing lembaga pendidikan, baik di dalam satu wilayah daerah, maupun dibandingkan dengan daerah yang lain.
b.      Faktor tidak meratanya kualitas guru di masing-masing daerah juga diduga sebagai ancaman.

f. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan di Indonesia
            Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif pelaksanaanya, misalnya banyaknya daerah terutama daerah yang kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya dengan meningkatkan anggaran pendidikan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah menyederhanakan dan mempersingkatt birokrasi pendidikan di daerah, meningkatkan inisiatif dan kreativitas daerah dalam mengelola pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi, kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan..
              Armida S. Alisjahbana menyebutkan bahwa dalam wujud pelaksanaan desentralisasi pendidikan, ada beberapa kewenangan-kewenangan pendidikan yang dapat didesentralisasikan, yakni sebagai berikut:
Komponen pendidikan
Kewenangan
Organisasi dan poses belajar
Mengajar
    · Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang murid.
    · Waktu belajar di sekolah.
    · Penentuan buku yang digunakan.
    · Kurikulum.
    · Metode pembelajaran.
Manajemen guru
    · Memilih dan memberhentikan kepala sekolah.
    · Memilih dan memberhentikan guru.
    · Menentukan gaji guru.
    · Memberikan tanggung jawab pengajaran kepada guru.
    · Menentukan dan mengadakan pelatihan kepada guru.
Struktur dan perencanaan
    · Membuka atau menutup suatu sekolah.
    · Menentukan program yang ditawarkan sekolah.
    · Definisi dari isi mata pelajaran.
    · Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya
    · Program pengembangan sekolah.
    · Alokasi anggaran untuk guru dan tenaga administratif (personnel).
    · Alokasi anggaran non-personnel.
    · Alokasi anggaran untuk pelatihan guru.
           
Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang pemerintahan lainnya, di mana disentralisasi pada bidang pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan desentralisasi pendidikan tidak hanya berhenti pada tingkat kabupaten/kota saja, tetapi justru sampai pada lembaga pendidikan atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
              Pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah. Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daerah belum menunjukkan perbedaan yang berarti, atau sama saja antara sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan desentralisasi pendidikan dalam hal tertentu justru malah menimbulkan kesulitan baru dibandingkan dengan keadaan sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu diatasi. Masalah-masalah sebagaimana disebutkan oleh Hasbullah antara lain: masalah kurikulum, SDM, dana, sarana dan prasarana pendidikan, serta organisasi kelembagaan.
              Dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat sangat diperlukan, terutama aparatur pendidikan baik di pusat maupun di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional. Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang akan memberikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan.
            Meskipun desentralisasi pendidikan merupakan sebuah keharusan, namun dalam realitas, pelaksanaanya terkesan suatu tindakan agak tergesa-gesa dan tidak siap. Hal ini bisa dilihat dari belum memadainya sumber daya manusia (SDM) daerah, sarana prasarana yang kurang memadai, menajemen pendidikan yang belum optimal, di samping itu juga masih banyak permasalahan yang dihadapi dunia pendidikan di daerah.
            Di antara persoalan yang dihadapi pendidikan di daerah sekarang adalah menyangkut mutu lulusan yang masih rendah, kondisi fisik sekolah yang memprihatinkan, kekurangan guru dan kualifikasinya yang tidak sesuai, ketidakmerataan penyelenggaraan pendidikan, kurikulum dan lain-lain. Merupakan pekerjaan rumah yang cukup berat bagi pemerintah daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah seni musik tradisional nusantara

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Musik yang telah lama hidup dan berkembang di Negara Indonesia yang tercinta ini, diciptakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan memiliki sifat turun-temurun secara tradisional dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Dari proses pewarisan yang turun temurun inilah musik jenis ini hidup dan berkembang sampai saat ini. Musik-musik ini sering disebut dengan istilah musik tradisioal yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena musik tradisional yang ada di Indonesia merupakan hasil karya cipta setiap suku bangsa (Batak, Dayak, Mentawai, Papua, Riau, Sunda, Jawa, Bali, dan sebagainya) yang hidup di bumi ini. Maka banyaknya jenis musik yang ada di tentukan oleh jumlah suku bangsa Indonesia yang cukup banyak. Selain itu, setiap suku bangsa yang hidup di Indonesia memiliki jenis musik yang berbeda dengan musik yang berkembang pada suku-suku bangsa lainnya di Negeri ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musik tradisional adalah merup

Makalah Sejarah Linguistik

MAKALAH  SEJARAH LINGUISTIK Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Linguistik Umum Disusun oleh: Silvia Dewi Yasmaniar (15.3.01.0875)                                                         Dosen pembimbing Holik Mulyono S.Pd FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN STKIP PANGERAN DHARMA KUSUMA INDRAMAYU 2015 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.   Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang saya ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang linguistik dengan judul ”SEJARAH LINGUISTIK”. Dalam penyusunannya, saya memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanal

Karya Ilmiah: Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kangkung

PENGARUH MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KANGKUNG KARYA ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran B iologi oleh: Catur Daniarsih Chintya Refilita Eva Oktaviani Silvia Dewi Yasmaniar Siti Rukoyah Sofiah Kelas:   XI I IPA 4 DINAS PENDIDIKAN NASIONAL SMA NEGERI 1 CIASEM Jalan Margasari 2 Sukamandi – Subang 41256 Telp.(0260) 520 190 Website : http//www.sman1ciasem.com Tahun Pelajaran 201 4 /201 5 Karya ilmiah yang berjudul PENGARUH MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KANGKUNG telah dibaca dan disetujui pada November 2014 oleh Kepala SMA Negeri 1 Ciasem,                                        Pembimbing, Ujang Sonjaya, S.Pd, M.M                                              Rina Linawati S.Pd . NIP 19641111198803100                                               NIP 197506221999032003 Ku persembahkan tuk: 1.       Bapak dan Ibu tercinta. 2.       Ibu gur