PENTINGNYA SUPERVISI PENDIDIKAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN PROFESIONALISME GURU
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar
yang dengan sengaja dirancangkan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Salah
satu usaha untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia ialah melalui proses
pembelajaran di sekolah.
Dalam usaha meningkatkan
kualitas sumber daya pendidikan, guru merupakan komponen sumber daya manusia
yang harus dibina dan dikembangkan terus-menerus. Pembentukan profesi guru
dilaksanakan melalui program pendidikan pra-jabatan maupun program dalam
jabatan. Tidak semua guru yang dididik di lembaga pendidikan terlatih dengan
baik dan kualified. Potensi sumber daya guru itu perlu terus bertumbuh dan
berkembang agar dapat melakukan fungsinya secara potensial. Masyarakat
mempercayai, mengakui dan menyerahkan kepada guru untuk mendidik tunas-tunas
muda dan membantu mengembangkan potensinya secara professional.
Kepercayaan, keyakinan, dan penerimaan ini merupakan substansi dari pengakuan masyarakat
terhadap profesi guru. Implikasi dari pengakuan tersebut mensyaratkan guru
harus memiliki kualitas yang memadai. Tidak hanya pada tataran normatif saja
namun mampu mengembangkan kompetensi yang dimiliki, baik kompetensi personal,
professional, maupun kemasyarakatan dalam selubung aktualisasi kebijakan
pendidikan.
Hal tersebut lantaran guru
merupakan penentu keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran
institusional dan eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan
harus dimulai dari aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut
kualitas keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen
pendidikan yang professional.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksuddengan
supervisi?
2. Bagaimana
pentingnya pengembangan sumber daya guru dengan
supervisi?
3. Apa yang dimaksuddengan
profesionalisme guru?
4. Bagaimana
kaitannya profesinalisme guru dengan konsep
mutu pendidikan?
1.3 Tujuan
1. Mejelaskan
apa yang dimaksuddengan
supervisi
3. Menjelaskan
apa yang dimaksuddengan
profesionalisme guru
4. Menjelaskan
bagaimana kaitannya profesinalisme guru dengan konsep
mutu pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Supervisi
Konsep supervisi modern
dirumuskan oleh Kimball Wiles (1967) sebagai berikut : “Supervision is
assistance in the devolepment of a better teaching learning situation”.
Supervisi adalah bantuan dalam pengembangan situasi pembelajaran yang lebih
baik. Rumusan ini mengisyaratkan bahwa layanan supervisi meliputi
keseluruhan situasi belajar mengajar (goal, material, technique, method,
teacher, student, an envirovment). Situasi belajar inilah yang seharusnya
diperbaiki dan ditingkatkan melalui layanan kegiatan supervisi. Dengan demikian
layanan supervisi tersebut mencakup seluruh aspek dari penyelenggaraan
pendidikan dan pengajaran.
Konsep supervisi tidak bisa
disamakan dengan inspeksi, inspeksi lebih menekankan kepada kekuasaan dan
bersifat otoriter, sedangkan supervisi lebih menekankan kepada persahabatan
yang dilandasi oleh pemberian pelayanan dan kerjasama yang lebih baik diantara
guru-guru, karena bersifat demokratis. Istilah supervisi pendidikan dapat
dijelaskan baik menurut asal usul (etimologi), bentuk perkataannya (morfologi),
maupun isi yang terkandung dalam perkataan itu ( semantik).
1)
Etimologi
Istilah supervisi diambil
dalam perkataan bahasa Inggris “ Supervision” artinya pengawasan di bidang
pendidikan. Orang yang melakukan supervisi disebut supervisor.
2)
Morfologis
Supervisi dapat dijelaskan
menurut bentuk perkataannya. Supervisi terdiri dari dua kata.Super berarti
atas, lebih. Visi berarti lihat, tilik, awasi. Seorang supervisor
memang mempunyai posisi diatas atau mempunyai kedudukan yang lebih dari orang
yang disupervisinya.
3)
Semantik
Pada
hakekatnya isi yang terandung dalam definisi yang rumusanya tentang sesuatu
tergantung dari orang yang mendefinisikan. Wiles secara singkat telah
merumuskan bahwa supervisi sebagai bantuan pengembangan situasi mengajar
belajar agar lebih baik. Adam dan Dickey merumuskan supervisi sebagai pelayanan
khususnya menyangkut perbaikan proses belajar mengajar. Sedangkan Depdiknas
(1994) merumuskan supervisi sebagai berikut : “ Pembinaan yang diberikan kepada
seluruh staf sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan untuk
mengembangkan situasi belajar mengajar yang lebih baik “. Dengan demikian,
supervisi ditujukan kepada penciptaan atau pengembangan situasi belajar
mengajar yang lebih baik. Untuk itu ada dua hal (aspek) yang perlu diperhatikan
:
a.
Pelaksanaan kegiatan belajar mengajar
b.
Hal-hal yang menunjang kegiatan belajar mengajar
Karena aspek utama adalah
guru, maka layanan dan aktivitas kesupervisian harus lebih diarahkan kepada
upaya memperbaiki dan meningkatkan kemampuan guru dalam mengelola kegiatan
belajar mengajar. Untuk itu guru harus memiliki yakni : 1) kemampuan personal,
2) kemampuan profesional 3) kemampuan sosial (Depdiknas, 1982).
Atas dasar uraian diatas, maka
pengertian supervisi dapat dirumuskan sebagai berikut “ serangkaian usaha
pemberian bantuan kepada guru dalam bentuk layanan profesional yang diberikan
oleh supervisor ( Pengawas sekolah, kepala sekolah, dan pembina lainnya) guna
meningkatkan mutu proses dan hasil belajar mengajar. Karena supervisi atau
pembinaan guru tersebut lebih menekankan pada pembinaan guru tersebut pula
“Pembinaan profesional guru“ yakni pembinaan yang lebih diarahkan pada upaya
memperbaiki dan meningkatkan kemampuan profesional guru.
Supervisi dapat kita artikan
sebagai pembinaan. Sedangkan sasaran pembinaan tersebut bisa untuk kepala
sekolah, guru, pegawai tata usaha. Namun yang menjadi sasaran supervisi
diartikan pula pembinaan guru.
2.2 Pentingnya Pengembangan Sumber Daya Guru dengan Supervisi
Di abad sekarang ini,
yaitu era globalisasi dimana semuanya serba digital, akses informasi sangat
cepat dan persaingan hidup semakin ketat, semua bangsa berusaha untuk
meningkatkan sumber daya manusia. Hanya manusia yang mempunyai sumber daya
unggul dapat bersaing dan mempertahankan diri dari dampak persaingan global
yang ketat. Termasuk sumber daya pendidikan. Yang termasuk dalam sumber daya
pendidikan yaitu ketenagaan, dana dan sarana dan prasarana.
Guru merupakan penentu
keberhasilan pendidikan melalui kinerjanya pada tataran institusional dan
eksperiensial, sehingga upaya meningkatkan mutu pendidikan harus dimulai dari
aspek “guru” dan tenaga kependidikan lainnya yang menyangkut kualitas
keprofesionalannya maupun kesejahteraan dalam satu manajemen pendidikan yang
professional.
Ada dua metafora untuk
menggambarkan pentingnya pengembangan sumber daya guru. Pertama, jabatan
guru diumpamakan dengan sumber air. Sumber air itu harus terus menerus
bertambah, agar sungai itu dapat mengalirkan air terus-menerus. Bila tidak,
maka sumber air itu akan kering. Demikianlah bila seorang guru tidak pernah
membaca informasi yang baru, tidak menambah ilmu pengetahuan tentang apa yang
diajarkan, maka ia tidak mungkin memberi ilmu dan pengetahuan dengan cara yang
lebih menyegarkan kepada peserta didik.
Kedua, jabatan guru diumpamakan dengan sebatang pohon buah-buahan. Pohon itu
tidak akan berbuah lebat, bila akar induk pohon tidak menyerap zat-zat makanan
yang berguna bagi pertumbuhan pohon itu. Begitu juga dengan jabatan guru yang
perlu bertumbuh dan berkembang. Baik itu pertumbuhan pribadi guru maupun
pertumbuhan profesi guru. Setiap guru perlu menyadari bahwa pertumbuhan dan
pengembangan profesi merupakan suatu keharusan untuk menghasilkan output
pendidikan berkualitas. Itulah sebabnya guru perlu belajar terus menerus,
membaca informasi terbaru dan mengembangkan ide-ide kreatif dalam pembelajaran
agar suasana belajar mengajar menggairahkan dan menyenangkan baik bagi guru
apalagi bagi peserta didik.
Peningkatan sumber daya guru
bisa dilaksanakan dengan bantuan supervisor, yaitu orang ataupun instansi yang
melaksanakan kegiatan supervisi terhadap guru. Perlunya bantuan supervisi
terhadap guru berakar mendalam dalam kehidupan masyarakat. Swearingen
mengungkapkan latar belakang perlunya supervisi berakar mendalam dalam
kebutuhan masyarakat dengan latar belakang sebagai berikut :
1.
Latar Belakang Kultural
Pendidikan berakar dari budaya
arif lokal setempat. Sejak dini pengalaman belajar dan kegiatan
belajar-mengajar harus daingkat dari isi kebudayaan yang hidup di masyarakat
itu. Sekolah bertugas untuk mengkoordinasi semua usaha dalam rangka mencapai
tujuan-tujuan pendidikan yang dicita-citakan.
2.
Latar Belakang Filosofis
Suatu system pendidikan yang
berhasil guna dan berdaya guna bila ia berakar mendalam pada nilai-nilai
filosofis pandangan hidup suatu bangsa.
3.
Latar Belakang Psikologis
Secara psikologis supervisi
itu berakar mendalam pada pengalaman manusia. Tugas supervisi ialah menciptakan
suasana sekolah yang penuh kehangatan sehingga setiap orang dapat menjadi
dirinya sendiri.
4.
Latar Belakang Sosial
Seorang supervisor dalam
melakukan tanggung jawabnya harus mampu mengembangkan potensi kreativitas dari
orang yang dibina melalui cara mengikutsertakan orang lain untuk berpartisipasi
bersama. Supervisi harus bersumber pada kondisi masyarakat.
5.
Latar Belakang Sosiologis
Secara sosiologis perubahan
masyarakat punya dampak terhadap tata nilai. Supervisor bertugas menukar ide
dan pengalaman tentang mensikapi perubahan tata nilai dalam masyarakat secara
arif dan bijaksana.
6.
Latar Belakang Pertumbuhan Jabatan
Supervisi bertugas memelihara,
merawat dan menstimulasi pertumbuhan jabatan guru. Diharapkan guru menjadi
semakin professional dalam mengemban amanat jabatannya dan dapat meningkatkan
posisi tawar guru di masyarakat dan pemerintah, bahwa guru punya peranan utama
dalam pembentukan harkat dan martabat manusia.
Permasalahan yang
dihadapi dalam melaksanakan supervisi di lingkungan pendidikan dasar adalah
bagaimana cara mengubah pola pikir yang bersifat otokrat dan korektif menjadi
sikap yang konstruktif dan kreatif, yaitu sikap yang menciptakan situasi dan
relasi di mana guru-guru merasa aman dan diterima sebagai subjek yang dapat
berkembang sendiri. Untuk itu, supervisi harus dilaksanakan berdasarkan data,
fakta yang objektif (Sahertian, 2000:20).
Supandi (1986:252), menyatakan
bahwa ada dua hal yang mendasari pentingnya supervisi dalam proses pendidikan.
1.
Perkembangan kurikulum merupakan gejala kemajuan pendidikan. Perkembangan
tersebut sering menimbulkan perubahan struktur maupun fungsi kurikulum.
Pelaksanaan kurikulum tersebut memerlukan penyesuaian yang terus-menerus dengan
keadaan nyata di lapangan. Hal ini berarti bahwa guru-guru senantiasa harus
berusaha mengembangkan kreativitasnya agar daya upaya pendidikan berdasarkan
kurikulum dapat terlaksana secara baik. Namun demikian, upaya tersebut tidak
selamanya berjalan mulus. Banyak hal sering menghambat, yaitu tidak lengkapnya
informasi yang diterima, keadaan sekolah yang tidak sesuai dengan tuntutan
kurikulum, masyarakat yang tidak mau membantu, keterampilan menerapkan metode
yang masih harus ditingkatkan dan bahkan proses memecahkan masalah belum
terkuasai. Dengan demikian, guru dan Kepala Sekolah yang melaksanakan kebijakan
pendidikan di tingkat paling mendasar memerlukan bantuan-bantuan khusus dalam
memenuhi tuntutan pengembangan pendidikan, khususnya pengembangan kurikulum.
2.
Pengembangan personel, pegawai atau karyawan senantiasa merupakan upaya yang
terus-menerus dalam suatu organisasi. Pengembangan personal dapat dilaksanakan
secara formal dan informal. Pengembangan formal menjadi tanggung jawab lembaga
yang bersangkutan melalui penataran, tugas belajar, loka karya dan sejenisnya.
Sedangkan pengembangan informal merupakan tanggung jawab pegawai sendiri dan
dilaksanakan secara mandiri atau bersama dengan rekan kerjanya, melalui
berbagai kegiatan seperti kegiatan ilmiah, percobaan suatu metode mengajar, dan
lain sebagainya.
Kegiatan supervisi pengajaran
merupakan kegiatan yang wajib dilaksanakan dalam penyelenggaraan pendidikan.
Pelaksanaan kegiatan supervisi dilaksanakan oleh kepala sekolah dan pengawas
sekolah dalam memberikan pembinaan kepada guru. Hal tersebut karena proses belajar-mengajar
yang dilaksakan guru merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan
dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Proses belajar mengajar merupakan
suatu proses yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan siswa atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk mencapai
tujuan tertentu. Oleh karena kegiatan supervisi dipandang perlu untuk
memperbaiki kinerja guru dalam proses pembelajaran.
Secara umum ada 2 (dua)
kegiatan yang termasuk dalam kategori supevisi pengajaran, yakni:
1.
Supervsi yang dilakukan oleh Kepala Sekolah kepada guru-guru.
Secara rutin dan terjadwal
Kepala Sekolah melaksanakan kegiatan supervisi kepada guru-guru dengan harapan
agar guru mampu memperbaiki proses pembelajaran yang dilaksanakan. Dalam
prosesnya, kepala sekolah memantau secara langsung ketika guru sedang mengajar.
Guru mendesain kegiatan pembelajaran dalam bentuk rencana pembelajaran kemudian
kepala sekolah mengamati proses pembelajaran yang dilakukan guru. Saat kegiatan
supervisi berlangsung, kepala sekolah menggunakan leembar observasi yang sudah
dibakukan, yakni Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). APKG terdiri atas APKG 1
(untuk menilai Rencana Pembelajaran yang dibuat guru) dan APKG 2 (untuk menilai
pelaksanaan proses pembelajaran) yang dilakukan guru.
2.
Supervisi yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah kepada Kepala Sekolah dan
guru-guru untuk meningkatkan kinerja.
Kegiatan supervisi ini
dilakukan oleh Pengawas Sekolah yang bertugas di suatu Gugus Sekolah. Gugus
Sekolah adalah gabungan dari beberapa sekolah terdekat, biasanya terdiri atas
5-8 Sekolah Dasar. Hal-hal yang diamati pengawas sekolah ketika melakukan
kegiatan supervisi untuk memantau kinerja kepala sekolah, di antaranya
administrasi sekolah, meliputi:
a. Bidang Akademik, mencakup kegiatan:
1)
menyusun program tahunan dan semester,
2)
mengatur jadwal pelajaran,
3)
mengatur pelaksanaan penyusunan model satuan pembelajaran,
4)
menentukan norma kenaikan kelas,
5)
menentukan norma penilaian,
6)
mengatur pelaksanaan evaluasi belajar,
7)
meningkatkan perbaikan mengajar,
8)
mengatur kegiatan kelas apabila guru tidak hadir, dan
9)
mengatur disiplin dan tata tertib kelas.
b. Bidang Kesiswaan, mencakup kegiatan:
1)
mengatur pelaksanaan penerimaan siswa baru berdasarkan peraturan penerimaan
siswa baru,
2)
mengelola layanan bimbingan dan konseling,
3)
mencatat kehadiran dan ketidakhadiran siswa, dan
4)
mengatur dan mengelola kegiatan ekstrakurikuler.
c. Bidang Personalia, mencakup kegiatan:
1)
mengatur pembagian tugas guru,
2)
mengajukan kenaikan pangkat, gaji, dan mutasi guru,
3)
mengatur program kesejahteraan guru,
4)
mencatat kehadiran dan ketidakhadiran guru, dan
5)
mencatat masalah atau keluhan-keluhan guru.
d. Bidang Keuangan, mencakup kegiatan:
1)
menyiapkan rencana anggaran dan belanja sekolah,
2)
mencari sumber dana untuk kegiatan sekolah,
3)
mengalokasikan dana untuk kegiatan sekolah, dan
4)
mempertanggungjawabkan keuangan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
e. Bidang Sarana dan Prasarana, mencakup kegiatan:
1)
penyediaan dan seleksi buku pegangan guru,
2)
layanan perpustakaan dan laboratorium,
3)
penggunaan alat peraga,
4)
kebersihan dan keindahan lingkungan sekolah,
5)
keindahan dan kebersihan kelas, dan
6)
perbaikan kelengkapan kelas.
f. Bidang Hubungan Masyarakat, mencakup kegiatan:
1)
kerjasama sekolah dengan orangtua siswa,
2)
kerjasama sekolah dengan Komite Sekolah,
3)
kerjasama sekolah dengan lembaga-lembaga terkait, dan
4)
kerjasama sekolah dengan masyarakat sekitar (Depdiknas 1997).
Sedangkan ketika mensupervisi
guru, hal-hal yang dipantau pengawas juga terkait dengan administrasi
pembelajaran yang harus dikerjakan guru, diantaranya :
a.
Penggunaan program semester
b.
Penggunaan rencana pembelajaran
c.
Penyusunan rencana harian
d.
Program dan pelaksanaan evaluasi
e.
Kumpulan soal
f.
Buku pekerjaan siswa
g.
Buku daftar nilai
h.
Buku analisis hasil evaluasi
i.
Buku program perbaikan dan pengayaan
j.
Buku program Bimbingan dan Konseling
k.
Buku pelaksanaan kegiatan ekstrakurikuler
2.3 Profesionalisme Guru
Profesionalisme menjadi
tuntutan dari setiap pekerjaan. Apalagi profesi guru yang sehari-hari menangani
benda hidup yang berupa anak-anak atau siswa dengan berbagai karakteristik yang
masing-masing tidak sama. Pekerjaaan sebagai guru menjadi lebih berat tatkala
menyangkut peningkatan kemampuan anak didiknya, sedangkan kemampuan dirinya
mengalami stagnasi.
Guru yang profesional adalah
mereka yang memiliki kemampuan profesional dengan berbagai kapasitasnya sebagai
pendidik. Studi yang dilakukan oleh Ace Suryani menunjukkan bahwa Guru yang
bermutu dapat diukur dengan lima indikator, yaitu: pertama, kemampuan
profesional (professional capacity), sebagaimana terukur dari ijazah, jenjang
pendidikan, jabatan dan golongan, serta pelatihan. Kedua, upaya profesional
(professional efforts), sebagaimana terukur dari kegiatan mengajar, pengabdian
dan penelitian. Ketiga, waktu yang dicurahkan untuk kegiatan profesional
(teacher’s time), sebagaimana terukur dari masa jabatan, pengalaman mengajar
serta lainnya. Keempat, kesesuaian antara keahlian dan pekerjaannya (link and
match), sebagaimana terukur dari mata pelajaran yang diampu, apakah telah
sesuai dengan spesialisasinya atau tidak, serta kelima, tingkat kesejahteraan
(prosperiousity) sebagaimana terukur dari upah, honor atau penghasilan
rutinnya. Tingkat kesejahteraan yang rendah bisa mendorong seorang pendidik
untuk melakukan kerja sambilan, dan bilamana kerja sambilan ini sukses, bisa
jadi profesi mengajarnya berubah menjadi sambilan.
Guru yang profesional amat
berarti bagi pembentukan sekolah unggulan. Guru profesional memiliki pengalaman
mengajar, kapasitas intelektual, moral, keimanan, ketaqwaan, disiplin,
tanggungjawab, wawasan kependidikan yang luas, kemampuan manajerial, trampil,
kreatif, memiliki keterbukaan profesional dalam memahami potensi, karakteristik
dan masalah perkembangan peserta didik, mampu mengembangkan rencana studi dan
karir peserta didik serta memiliki kemampuan meneliti dan mengembangkan
kurikulum.
Dewasa ini banyak guru, dengan
berbagai alasan dan latar belakangnya menjadi sangat sibuk sehingga tidak
jarang yang mengingat terhadap tujuan pendidikan yang menjadi kewajiban dan
tugas pokok mereka. Seringkali kesejahteraan yang kurang atau gaji yang rendah
menjadi alasan bagi sebagian guru untuk menyepelekan tugas utama yaitu mengajar
sekaligus mendidik siswa. Guru hanya sebagai penyampai materi yang berupa
fakta-fakta kering yang tidak bermakna karena guru menang belajar lebih dulu
semalam daripada siswanya. Terjadi ketidaksiapan dalam proses Kegiatan Belajar
Mengajar ketika guru tidak memahami tujuan umum pendidikan. Bahkan ada yang
mempunyai kebiasaan mengajar yang kurang baik yaitu tiga perempat jam pelajaran
untuk basa-basi bukan apersepsi dan seperempat jam untuk mengajar. Suatu
proporsi yang sangat tidak relevan dengan keadaan dan kebutuhan siswa. Guru
menganggap siswa hanya sebagai pendengar setia yang tidak diberi kesempatan
untuk mengembangkan diri sesuai dengan kemampuannya.
Banyak kegiatan belajar
mengajar yang tidak sesuai dengan tujuan umum pendidikan yang menyangkut
kebutuhan siswa dalam belajar, keperluan masyarakat terhadap sekolah dan mata
pelajaran yang dipelajari. Guru memasuki kelas tidak mengetahui tujuan yang
pasti, yang penting demi menggugurkan kewajiban. Idealisme menjadi luntur
ketika yang dihadapi ternyata masih anak-anak dan kalah dalam pengalaman.
Banyak guru enggan meningkatkan kualitas pribadinya dengan kebiasaan membaca
untuk memperluas wawasan. Jarang pula yang secara rutin pergi ke perpustakaan untuk
melihat perkembangan ilmu pengetahuan. Kebiasaan membeli buku menjadi suatu
kebiasaan yang mustahil dilakukan karena guru sudah merasa puas mengajar dengan
menggunakan LKS ( Lembar Kegiatan Siswa ) yang berupa soal serta sedikit
ringkasan materi.
Dapat dilihat daftar
pengunjung di perpustakaan sekolah maupun di perpustakaan umum, jarang sekali
guru memberi contoh untuk mengunjungi perpustakaan secara rutin. Lebih banyak
pengunjung yang berseragam sekolah daripada berseragam PSH. Kita masih harus
“Khusnudhon” bahwa dirumah mereka berlangganan koran harian yang siap disantap
setiap pagi. Tetapi ada juga kekhawatiran bahwa yang lebih banyak dibaca adalah
berita-berita kriminal yang menempati peringkat pertama pemberitaan di koran
maupun televisi. Sedangkan berita-berita mengenai pendidikan, penemuan-penemuan
baru tidak menarik untuk dibaca dan tidak menarik perhatian. Kebiasaan membaca
saja sulit dilakukan apalagi kebiasaan menulis menjadi lebih mustahil
dilakukan. Ini adalah realita dilapangan yang patut disesalkan.
Sarana dan prasarana penunjang
pelajaran yang kurang memadai, terutama di daerah terpencil. Tetapi hal ini
tidak bisa dijadikan alasan bahwa dengan sarana yang minimpun dapat
dimanfaatkan semaksimal mungkin agar mendaptkan hasil yang bagus. Terkadang
kita juga harus memakai prisip ekonomi yang ternyata dapat membawa kemajuan.
Yang sering dijumpai adalah sudah ada sarana tetapi tidak dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya.
Peta dunia hanya dipajang di
depan kelas, globe atau bola dunia dibiarkan berkarat tidak pernah tersentuh,
buku-buku pelajaran diperpustakaan dimakan rayap, alat-alat praktek di
laboratorium hanya tersimpan rapi di almari tidak pernah dipergunakan. Media
pengajaran yang sudah ada jangan dibiarkan rusak atau berkarat gara-gara disimpan.
Lebih baik rusak karena digunakan untuk praktek siswa. Guru dituntut lebih
kreatif dan inovatif dalam pemakaian sarana dan media yang ada demi peningkatan
mutu pendidikan. Sekolah juga tidak harus bergantung pada bantuan dari
pemerintah mengingat kebutuhan masing-masing sekolah tidaklah sama.
Tingkat kesejahteraan guru
yang kurang mengakibatkan banyak guru yang malas untuk berprestasi karena
disibukkan mencari tambahan kebutuhan hidup yang semakin berat. Anggaran
pendidikan minimal 20 % harus dilaksanakan dan diperjuangkan unutk ditambah
karena pendidikan menyangkut kelangsungan hidup suatu bangsa. Apabila tingkat
kesejahteraan diperhatikan, konsentrasi guru dalam mengajar akan lebih banyak
tercurah untuk siswa.
Penataran dan pelatihan mutlak
diperlukan demi meningkatkan pengetahuan, wawasan dan kompetensi guru. Kegiatan
ini membutuhkan biaya yang tidak sedikit, tetapi hasilnya juga akan seimbang
jika dilaksanakan secara baik. Jika kegiatan penataran, pelatihan dan
pembekalan tidak dilakukan, guru tidak akan mampu mengembangkan diri, tidak
kreatif dan cenderung apa adanya. Kecenderungan ini ditambah dengan tidak
adanya rangsangan dari pemerintah atau pejabat terkait terhadap profesi guru.
Rangsangan itu dapat berupa penghargaan terhadap guru-guru yang berprestasi
atau guru yang inovatif dalam proses belajar mengajar.
Guru harus diberi keleluasaan
dalam menetapkan dengan tepat apa yang digagas, dipikirkan, dipertimbangkan,
direncanakan dan dilaksanakan dalam pengajaran sehari-hari, karena di tangan
gurulah keberhasilan belajar siswa ditentukan, tidak oleh Bupati, Gubernur,
Walikota, Pengawas, Kepala Sekolah bahkan Presiden sekalipun.
Mutlak dilakukan ketika awal
menjadi guru adalah memahami tujuan umum pendidikan, mamahami karakter siswa
dengan berbagai perbedaan yang melatar belakanginya. Sangatlah penting untuk
memahami bahwa siswa balajar dalam berbagai cara yang berbeda, beberapa siswa
merespon pelajaran dalam bentuk logis, beberapa lagi belajar dengan melalui
pemecahan masalah (problem solving), beberapa senang belajar sendiri daripada
berkelompok.
Cara belajar siswa yang
berbeda-beda, memerlukan cara pendekatan pembelajaran yang berbeda. Guru harus
mempergunakan berbagai pendekatan agar anak tidak cepat bosan. Kemampuan guru
untuk melakukan berbagai pendekatan dalam belajar perlu diasah dan
ditingkatkan. Jangan cepat merasa puas setelah mengajar, tetapi lihat hasil
yang didapat setelah mengajar. Sudahkah sesuai dengan tujuan umum pendidikan.
Perlu juga dipelajari penjabaran dari kurikulum ang dipergunakan agar yang
diajarkan ketika di kelas tidak melencenga dari GBBP/kurikulum yang sudah
ditentukan.
Guru juga perlu membekali diri
dengan pengetahuan tentang psikologi pendidikan dalam menghadapai siswa yang
berneka ragam. Karena tugas guru tidak hanya sebagai pengajar, tetapi sekaligus
sebagai pendidik yang akan membentuk jiwa dan kepribadian siswa. Maju dan
mundur sebuah bangsa tergantung pada keberhasilan guru dalam mendidik siswanya.
Pemerintah juga harus
senantiasa memperhatikan tingkat kesejahteraan guru, karena mutlak diperlukan
kondisi yang sejahtera agar dapat bekerja secara baik dan meningkatkan
profesionalisme. Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya
berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Seperti Amerika
Serikat, isu tentang profesionalisme guru ramai dibicarakan pada pertengahan
tyahun 1980-an. Jurnal terkemuka manajemen pendidikan, Educational Leadership
edisi Maret 1933 menurunkan laporan mengenai tuntutan guru professional.
Menurut Jurnal tersebut, untuk
menjadi professional, seorang guru dituntut memiliki lima hal, yakni:
1)
Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa
komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswanya.
2)
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkan serta cara
mengajarkannya kepada siswa. Bagi guru, hal ini meryupakan dua hal yang tidak
dapat dipisahkan.
3)
Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik
evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampau tes hasil belajar.
4)
Guru mampu berpikir sistematis tentang apa yang dilakukannya, dan belajar dari
pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan
refleksi dan koreksi terhadap apa yang telah dilakukannya. Untuk bisa belajar
dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk
dampaknya pada proses belajar siswa.
5)
Guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya, misalnya PGRI dan organisasi profesi lainnya (Supriadi, 1999:98).
Dalam konteks yang aplikatif,
kemampuan professional guru dapat diwujudkan dalam penguasaan sepuluh
kompetensi guru, yang meliputi:
1)
Menguasai bahan, meliputi: a) menguasai bahan bidang studi dalam kurikulum, b)
menguasai bahan pengayaan/penunjang bidang studi.
2)
Mengelola program belajar-mengajar, meliputi: a) merumuskan tujuan
pembelajaran, b) mengenal dan menggunakan prosedur pembelajaran yang tepat, c)
melaksanakan program belajar-mengajar, d) mengenal kemampuan anak didik.
3)
Mengelola kelas, meliputi: a) mengatur tata ruang kelas untuk pelajaran, b)
menciptakan iklim belajar-mengajar yang serasi.
4)
Penggunaan media atau sumber, meliputi: a) mengenal, memilih dan menggunakan
media, b) membuat alat bantu yang sederhana, c) menggunakan perpustakaan dalam
proses belajar-mengajar, d) menggunakan micro teaching untuk unit program
pengenalan lapangan.
5)
Menguasai landasan-landasan pendidikan.
6)
Mengelola interaksi-interaksi belajar-mengajar.
7)
Menilai prestasi siswa untuk kepentingan pelajaran.
8)
Mengenal fungsi layanan bimbingan dan konseling di sekolah, meliputi: a)
mengenal fungsi dan layanan program bimbingan dan konseling, b)
menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling.
9)
Mengenal dan menyelenggarakan administrasi sekolah.
10) Memahami
prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penelitian pendidikan guna keperluan
pengajaran (Suryasubrata 1997:4-5).
2.4 Konsep Mutu Pendidikan
Proses pendidikan yang bermutu
ditentukan oleh berbagai unsur dinamis yang akan ada di dalam sekolah itu dan
lingkungannya sebagai suatu kesatuan sistem. Menurut Townsend dan Butterworth
(1992:35) dalam bukunya Your Child’s Scholl, ada sepuluh faktor penentu
terwujudnya proses pendidikan yang bermutu, yakni:
1)
keefektifan kepemimpinan kepala sekolah
2)
partisipasi dan rasa tanggung jawab guru dan staf,
3)
proses belajar-mengajar yang efektif,
4)
pengembangan staf yang terpogram,
5)
kurikulum yang relevan,
6)
memiliki visi dan misi yang jelas,
7)
iklim sekolah yang kondusif,
8)
penilaian diri terhadap kekuatan dan kelemahan,
9)
komunikasi efektif baik internal maupun eksternal, dan
10) keterlibatan orang
tua dan masyarakat secara instrinsik.
Dalam konsep yang lebih luas,
mutu pendidikan mempunyai makna sebagai suatu kadar proses dan hasil pendidikan
secara keseluruhan yang ditetapkan sesuai dengan pendekatan dan kriteria
tertentu (Surya, 2002:12).
Dalam konteks pendidikan,
pengertian mutu mencakup input, proses, dan output pendidikan (Depdiknas,
2001:5). Input pendidikan adalah segala sesuatu yang harus tersedia karena
dibutuhkan untuk berlangsungnya proses. Proses pendidikan merupakan berubahnya
sesuatu menjadi sesuatu yang lain dengan mengintegrasikan input sekolah
sehingga mampu menciptakan situasi pembelajaran yang menyenangkan (enjoyable
learning), mampu mendorong motivasi dan minat belajar, dan benar-benar mampu
memberdayakan peserta didik. Output pendidikan adalah merupakan kinerja sekolah
yang dapat diukur dari kualitasnya, efektivitasnya, produktivitasnya,
efisiensinya, inovasinya, dan moral kerjanya.
Berdasarkan konsep mutu
pendidikan maka dpaat dipahami bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya
terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih
memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang
mutlak harus ada dalam batas – batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan
dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary
but not sufficient condition to improve student achievement).
Selama tahun 2002 dunia
pendidikan ditandai dengan berbagai perubahan yang datang bertubi-tubi,
serempak, dan dengan frekuensi yang sangat tinggi. Belum tuntas sosialisasi
perubahan yang satu, datang perubahan yang lain. Beberapa inovasi yang
mendominasi panggung pendidikan selama tahun 2002 antara lain adalah Pendidikan
Berbasis Luas (PBL/BBE) dengan life skills-nya, Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK/CBC), Manajemen Berbasis Sekolah (MBS/SBM), Ujian Akhir Nasional (UAN)
pengganti EBTANAS, pembentukan dewan sekolah dan dewan pendidikan
kabupaten/kota. Setiap pembaruan tersebut memiliki kisah dan problematiknya
sendiri.
Fenomena yang menarik adalah
perubahan itu umumnya memiliki sifat yang sama, yakni menggunakan kata berbasis
(based). Bila diamati lebih jauh, perubahan yang “berbasis” itu umumnya dari
atas ke bawah: dari pusat ke daerah, dari pengelolaan di tingkat atas menuju
sekolah, dari pemerintah ke masyarakat, dari sesuatu yang sifatnya nasional
menuju yang lokal. Istilah-istilah lain yang populer dan memiliki nuansa yang
sama dengan “berbasis” adalah pemberdayaan (empowerment), akar rumput
(grass-root), dari bawah ke atas (bottom up), dan sejenisnya. Apa itu artinya?
Simak saja label-label
perubahan yang dewasa ini berseliweran dalam dunia pendidikan nasional
(kadang-kadang dipahami secara beragam): manajemen berbasis sekolah (school
based management), peningkatan mutu berbasis sekolah (school based quality
improvement), kurikulum berbasis kompetensi (competence based curriculum),
pengajaran/pelatihan berbasis kompetensi (competence based teaching/training),
pendidikan berbasis luas (broad based education), pendidikan berbasis
masyarakat (community based education), evaluasi berbasis kelas (classroom
based evaluation), evaluasi berbasis siswa (student based evaluation) dikenal
juga dengan evaluasi portofolio, manajemen pendidikan berbasis lokal (local
based educational management), pembiayaan pendidikan berbasis masyarakat
(community based educational financing), belajar berbasis internet (internet
based learning), kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dan entah apa lagi.
Fullan & Stiegerbauer
(1991: 33) dalam “The New Meaning of Educational Change” mencatat bahwa setiap
tahun guru berurusan dengan sekitar 200.000 jenis urusan dengan karakteristik
yang berbeda dan itu merupakan sumber stres bagi mereka. Mungkin tak aneh bila
dilaporkan banyak guru mengalami stres dan jenuh.
Supriadi (2002:17) mengatakan:
“orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap
perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan,
memerlukan tahap-tahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan
hingga dilaksanakan”. Sejak awal, berbagai kondisi perlu diperhitungkan, mulai
substansi inovasi itu sendiri sampai kondisi-kondisi lokal tempat inovasi itu
akan diimplementasikan. Intinya, suatu perubahan yang mendasar, melibatkan
banyak pihak, dan dengan skala yang luas akan selalu memerlukan waktu. Suatu
inovasi mestinya jelas kriterianya, terukur dan realistik dalam sasarannya, dan
dirasakan manfaatnya oleh pihak yang melaksanakannya.
Langkah percepatan dapat saja
dilakukan, tetapi dengan risiko kegagalan yang besar akibat inovasi itu kurang
dihayati secara penuh oleh pelaksananya. Kami menilai bahwa banyak inovasi
pendidikan yang diluncurkan di Indonesia dewasa ini yang melanggar
prinsip-prinsip tersebut, di samping secara konseptual “cacat sejak lahir”,
serba tergesa-gesa, serba instan, targetnya tidak realistik, didasari asumsi
yang linier seakan-akan suatu inovasi akan bergulir mulus begitu diluncurkan,
dan secara implisit dimuati obsesi demi menanamkan “aset politik” di masa
depan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebijakan pendidikan harus
ditopang oleh pelaku pendidikan yang berada di front terdepan yakni guru
melalui interaksinya dalam pendidikan. Upaya meningkatkan mutu pendidikan perlu
dilakukan secara bertahap dengan mengacu pada rencana strategis. Keterlibatan
seluruh komponen pendidikan (guru, Kepala Sekolah, masyarakat, Komite Sekolah,
Dewan Pendidikan, dan isntitusi) dalam perencanaan dan realisasi program
pendidikan yang diluncurkan sangat dibutuhkan dalam rangka mengefektifkan
pencapaian tujuan.
Implementasi kemampuan
professional guru mutlak diperlukan sejalan diberlakukannya otonomi daerah,
khsususnya bidang pendidikan. Kemampuan professional guru akan terwujud apabila
guru memiliki kesadaran dan komitmen yang tinggi dalam mengelola interaksi
belajar-mengajar pada tataran mikro, dan memiliki kontribusi terhadap upaya
peningkatan mutu pendidikan pada tataran makro.
Salah satu upaya peningkatan
profesional guru adalah melalui supervisi pengajaran. Pelaksanaan supervisi
pengajaran perlu dilakukan secara sistematis oleh kepala sekolah dan pengawas sekolah
bertujuan memberikan pembinaan kepada guru-guru agar dapat melaksanakan
tugasnya secara efektif dan efisien. Dalam pelaksanaannya, baik kepala sekolah
dan pengawas menggunakan lembar pengamatan yang berisi aspek-aspek yang perlu
diperhatikan dalam peningkatan kinerja guru dan kinerja sekolah. Untuk
mensupervisi guru digunakan lembar observasi yang berupa alat penilaian
kemampuan guru (APKG), sedangkan untuk mensupervisi kinerja sekolah dilakukan
dengan mencermati bidang akademik, kesiswaan, personalia, keuangan, sarana dan
prasarana, serta hubungan masyarakat.
Implementasi kemampuan
professional guru mensyaratkan guru agar mampu meningkatkan peran yang
dimiliki, baik sebagai informatory(pemberi informasi), organisator, motivator,
director, inisiator (pemrakarsa inisiatif), transmitter (penerus), fasilitator,
mediator, dan evaluator sehingga diharapkan mampu mengembangkan kompetensinya.
3.1 Saran
1.
Mewujudkan
kondisi ideal di mana kemampuan professional guru dapat diimplementasikan
sejalan diberlakukannya otonomi daerah, bukan merupakan hal yang mudah. Hal
tersebut lantaran aktualisasi kemampuan guru tergantung pada berbagai komponen
system pendidikan yang saling berkolaborasi. Oleh karena itu, keterkaitan
berbagai komponen pendidikan sangat menentukan implementasi kemampuan guru agar
mampu mengelola pembelajaran yang efektif, selaras dengan paradigma
pembelajaran yang direkomendasiklan Unesco, “belajar mengetahui (learning to
know), belajar bekerja (learning to do), belajar hidup bersama (learning to live
together), dan belajar menjadi diri sendiri (learning to be)”.
DAFTAR
PUSTAKA
Balitbang Depdiknas. 2001. Data Standardisasi Kompetensi Guru.
Berliner, David. 2000. Educational Reform in an Era of Disinformation.
Depdiknas. 1997. Petunjuk Pengelolaan Adminstrasi Sekolah Dasar.Jakarta:
Depdiknas.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah (Buku 1).
Jakarta: Depdiknas.
Fullan & Stiegerbauer.1991. The New Meaning of Educational Change.
Boston: Houghton Mifflin Company.
Sapari, Achmad. 2002. Pemahaman Guru Terhadap Inovasi Pendidikan. Artikel.
Jakarta: Kompas (16 Agustus 2002).
Sahertian, Piet A. 2000. Konsep-Konsep dan Teknik Supervisi Pendidikan
Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta: Rineka Cipta.
Sucipto. 2003. Profesionalisasi Guru Secara Internal, Akuntabiliras
Profesi. Makalah Seminar Nasional. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Supandi. 1996. Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Jakarta: Departemen
Agama Universitas Terbuka.
Supriadi, Dedi. 1999. Mengangkat Citra dan Martabat Guru. Yogyakarta:
Adicita Karya Nusa.
Supriadi, Dedi. 2002. Laporan Akhir Tahun Bidang Pendidikan &
Kebudayaan. Artikel. Jakarta : Kompas.
Suprihatin, MD. 1989. Administrasi Pendidikan, Fungsi dan Tanggung Jawab Kepala
Sekolah sebagai Administrator dan Supervisor Sekolah. Semarang: IKIP Semarang
Press.
Surya, Mohamad. 2002. Peran Organisasi Guru dalam Meningkatkan Mutu
Pendidikan. Seminar Lokakarya Internasional. Semarang : IKIP PGRI.
Suryasubrata.1997. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka
Cipta.
Wardani, IGK. 1996. Alat Penilaian Kemampuan Guru (APKG). Jakarta: Dirjen
Dikti.
Komentar
Posting Komentar