BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Pendidikan Seni dipakai sebagai mata pelajaran pada
pendidikan sekolah didasarkan pada pemikiran bahwa, pertama, pendidikan seni
memiliki sifat multilingual, multidimensional, dan multikultural. Multilingual
berarti melalui pendidikan seni dikembangkan kemampuan mengekspresikan diri dengan
berbagai bahasa rupa, bunyi, gerak, dan paduannya. Multidimensional berarti
dengan seni dapat dikembangkan kompetensi dasar anak yang mencakup persepsi,
pengetahuan, pemahaman, analisis, evaluasi, apresiasi, dan produktivitas dalam
menyeimbangkan fungsi otak kanan dan kiri, dengan memadukan unsur logika, etika
dan estetika. Multikultural berarti pendidikan seni bertujuan
menumbuhkembangkan kesadaran dan kemampuan berapresiasi terhadap keragaman
budaya lokal dan global sebagai pembentukan sikap menghargai, toleran,
demokratis, beradab, dan hidup rukun dalam masyarakat dan budaya yang majemuk
(Depdiknas 2001:7). Pendidikan seni meliputi semua bentuk kegiatan tentang
aktivitas fisik dan nonfisik yang tertuang dalam kegiatan berekspresi,
bereksplorasi, berkreasi dan berapresiasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak dan
peran. (Rohidi 2000:7). Melalui pendidikan seni anak dilatih untuk memperoleh
keterampilan dan pengalaman mencipta yang disesuaikan dengan lingkungan alam
dan budaya setempat serta untuk memahami, menganalisis, dan menghargai karya
seni. Tegasnya pendidikan seni di sekolah dapat menjadi media yang efektif
dalam mengembangkan pengetahuan, keterampilan, kreativitas, dan sensitivitas
anak.
Tujuan pendidikan seni juga dapat dilihat sebagai upaya untuk
mengembangkan sikap agar anak mampu berkreasi dan peka terhadap seni atau
memberikan kemampuan dalam berkarya dan berapresiasi seni. Kedua jenis
kemampuan ini menjadi penting artinya karena dinamika kehidupan sosial manusia
dan nilai-nilai estetis mempunyai sumbangan terhadap kebahagiaan
manusia
di samping mencerdaskannya. Pendidikan seni, dapat dijadikan sebagai salah satu
sarana dalam membentuk jiwa dan kepribadian anak. Hal ini sejalan dengan apa
yang dinyatakan oleh Plato (dalam dalam Rohidi 2000:79) bahwa pendidikan seni
dapat dijadikan dasar untuk membentuk kepribadian. Dalam hubungan ini seni
merupakan bidang ilmu yang perlu dipelajari dan diapresiasi oleh peserta didik
karena mengandung nili-nilai dan bermanfaat dalam kehidupan manusia. Oleh karenanya
diperlukan rancangan yang berkaitan dengan proses pelaksanaan pembelajaran
seni, baik kurikulum, metode, sarana maupun alat penunjangnya, dan juga tidak
meninggalkan lingkungan sosial budaya setempat.
1.2 Rumusan
Masalah
·
Bagaimana
konsep seni secara umum?
·
Bagaimana
fungsi seni dalam pengembangan fungsi-fungsi jiwa?
1.3 Tujuan
·
Menjelaskan
tentang konsep seni secara umum
·
Menjelaskan
bahwa seni sebagai pengembangan fungsi-fungsi jiwa
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian
Konsep Seni Secara Umum
Pendidikan seni sebagai bentuk untuk membentuk sikap dan
kepribadian anak yang mempunyai fungsi-fungsi
jiwa yang meliputi fantasi, sensitivitas, kreativitas dan ekspresi. Seseorang anak dapat
berfantasi terhadap hasil karyanya, melalui
perasaan anak menuangkan ide gagasannya kedalam hasil karya menjadikan anak sensitivitas, menjadikan anak
memiliki kreativitas yang baik, dan
mengekspresikan hasil karya seni. Emanuel
Kant (Hajar Pamadi, 2012: 247) menyatakan bahwa pendidikan seni adalah rasionalisasi, seni melalui
keindahan. Keindahan adalah sesuatu yang dapat diukur menggunakan alat tertentu dan
sesuai kebutuhan. Rasionalisasi keindahan dapat dilihat dari susunan,
keseimbangan, maupun maknanya. Ketiganya
merupakan prinsip dalam menciptakan karya seni. Sumanto (2005: 7) menyatakan tentang pengertian seni sebagai
berikut:
Seni adalah hasil atau proses kerja dan gagasan manusia
melibatkan kemampuan trampil, kreatif,
kepekaan indera, kepekaan hati dan piker untuk menghasilkan suatu karya yang memiliki
kesan keindahan, keselarasan, bernilai seni dan lainnya. Belajar seni merupakan
pemahaman estetika (keindahan) dan pengungkapan
kembali estetika dalam sebuah karya seni. Memahami estetika merupakan peristiwa memasukkan estetika
melalui pengindraan rasa dan pikir untuk
mengobyektifikasikan. Belajar seni atau estetika melalui metode kontruktivisme adalah peserta didik akan
mendapatkan objek keindahan melalui pengalaman
langsung, anak akan mengamati sebuah karya seni, dan akhirnya dapat mencontoh atau menirukan sehingga merasakan
dan mengalami indahnya proses, bentuk
dan hasilnya. Keindahan ini bisa dirasakan tapi sulit dikatakan, dengan bahasa
kata melainkan bahasa simbol, jadi keindahan adalah sebuah simbol-simbol
objektifikasi.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat ditegaskan bahwa
pendidikan seni adalah berkaitan dengan
keindahan hasil karya yang dibuat seseorang. Melalui pengalaman anak dapat menuangkan ide
gagasannya ke dalam karya seni. Pendidikan
seni dapat menjadikan otak kanan dan otak kiri berkembang secara baik. Pendidikan seni dalam penelitian ini
adalah pendidikan seni rupa yang berupa
seni lukis. Pada kegiatan seni melukis adalah ungkapan melalui simbol-Simbol
yang mempunyai makna terhadap objek yang dihasilkan. Fantasi, sensitivitas, kreativitas dan ekspresi semua
itu terbentuk pada pendidikan seni.
2.2 Seni
sebagai Pengembangan Fungsi-Fungsi Jiwa
2.2.1
Pengembangan Fantasi
Fantasi adalah daya untuk membentuk tanggapan baru dengan pertolongan
tanggapan-tanggapan yang sudah ada, dan tanggapan baru itu tidak harus sesuai dengan objek-objek yang
ada. Dalam konteks seni rupa fantasi
tersebut adalah fantasi yang disadari secara aktif dalam mencipta, yakni fantasi
yang terjadi dengan disengaja, dan ada usaha subjek untuk masuk ke dunia
imajinair yang dikendalikan oleh pikiran dan kemauan untuk menciptakan
tanggapan-tanggapan baru. Misalnya menciptakan sebuah lukisan tentang padang
pasir dengan tanpa melihat objek padang pasir, namun dengan pengalamannya yang
pernah melihat objek lapangan yang penuh dengan rumput dan tumbuhan, kemudian dihilangkan rumput dan tumbuhannya dalam
lukisannya. Dalam hal ini guru sebaiknya tidak memberikan contoh dalam wujud
apapun, namun memunculkan kembali pengalaman siswa untuk dituangkan dalam wujud
karya.
2.2.2
Pengembangan Sensitivitas
Sensitivitas adalah bagian
pertama dari sifat kreatif, bahkan kreatif tidak mungkin diciptakan tanpa
adanya pengalaman sensitif. Sensitif adalah kepekaan terhadap setiap rangsangan
yang datang dari luar, maupun kepekaan terhadap komposisi bentuk yang menarik
dari sekitarnya. Dengan kepekaan seperti itu maka jiwa akan menjadi kaya oleh
berbagai pengalaman yang masuk, dan kekayaan tersebut akan selalu siap untuk
dumunculkan kembali.
Sensitif berarti mudah menerima, perasa terhadap rangsangan,
mudah mencerap suatu rangsangan, dan dapat menghayati sesuatu. Peranan guru
yang diharapkan adalah mengembangkan sensitivitas atau kepekaan yang telah
dimiliki siswa. Terutama, peka terhadap lingkungan dengan cara melatih
mengamati, menghayati dan menyadari lingkungan yang mengandung berbagai
masalah. Siswa diberi kesempatan menggunakan panca inderanya seperti penglihatan,
pendengaran, penciuman, dan peraba yang menjadi dasar cerapan. Dengan demikian
sebelum berkarya siswa diharuskan untuk mengamati objek dengan berbagai
maslahnya sebelum dituangkan di atas media karya seni rupa.
Kekuatan
sensitivitas dan kreativitas sangat besar, dengan leluasa dan kebebasan
kreativitasnya. Mereka melahirkan ungkapan simbol-simbol dari ekspresi
karyanya. Ungkapan penuh dengan kesan reaksinya terhadap apa yang
dilihat, diamati dan dialaminya. Tidak mengenal proporsi, sapuan warnanya
sebegai benda ekspresi dalam tatanan warna yang bebas.
Tanpa
memperdulikan kenyataan yang ada di alam. Sebagai mana orang dewasa melihat
daun berwarna hijau, atau awan berwarna biru . Awan dapat saja berwarna hitam
atau merah , daun berwarna coklat ataupun dapat berwarna kuning. Sensitivitas
sangat tinggi inilah yang harus dipupuk. Kepekaan rasanya terasah sampai
beranjak remaja, dewasa. Justru sensitivitas ini senantiasa dibekukan dengan
berbagai paham, dokrin yang disampaikan - dipesan orang tua atau
guru. Kenyataan ini dapat kita rasakan dalam kehidupan nyata saat ini kita
semakin menipis rasa kepekaan dan kepedulian terhadap sesama.
2.2.3
Pengembangan Kreativitas
1.
Pengertian Kreativitas
Semua orang tahu akan pentingnya kreativitas bagi individu
dan masyarakat. Di masa lampau, orang yang kreatif ditemukan hanya jika mereka
telah membuat suatu produk yang orisinil. Padahal pengertian atau maksud dari
kreativitas tidak hanya terbatas seperti itu saja. Kreativitas aalah kemampuan
sesorang untuk menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang pada
dasarnya baru, dan sebelumnya tidak ada yang membuatnya. Ia dapat berupa
kegiatan imajinatif atau sintesis pemikiran yang hasilnya bukan hanya
perangkuman, tetapi mencakup pembentukan pola baru dan gabungan informasi yang
diperoleh dari pengalaman sebelumnya dan pencangkokan hubungan lama ke situasi
baru dan mungkin mencakup pembentukan korelasi baru. Hasil dari sebuah
kreativitas dapat berupa produk seni, kesusastraan, produk ilmiah, atau mungkin
bersifat procedural atau metodologis.
Unsur karakteristik kreativitas, yaitu antara lain :
1. Kreativitas merupakan proses,
bukan hasil.
2. Proses
itu mempunyai tujuan yang mendatangkan keuntungan bagi orang itu sendiri atau
kelompok sosialnya.
3. Kreativitas
mengarah pada penciptaan sesuatu yang baru, berbeda dan karenanya unik bagi
orang itu, baik berbentuk lisan atau tulisan, maupun konkret atau abstrak.
4. Kreativitas
muncul dari pemikiran divergen, lain halnya dengan konformitas atau pemecahan
masalah sehari-hari yang timbul dari pemikiran konvergen.
5. Kreativitas
merupakan suatu cara berpikir yang tidak sama dengan kecerdasan, yang mencakup
kemampuan mental selain berpikir.
6. Kemampuan untuk mencipta bergantung pada
pengetahuan yang diterima.
7. Kreativitas
merupakan bentuk imajinasi yang dikendalikan yang menjurus kearah beberapa bentuk prestasi.
Pada umumnya, kreativitas diartikan dengan daya atau
kemampuan untuk mencipta, tetapi sebenarnya kreativitas memiliki arti yang
lebih yaitu meliputi :
1. Kelancaran menanggapi suatu
masalah, ide atau materi.
2. Kemampuan untuk menyesuaikan
diri dalam setiap situasi.
3. Memiliki
keaslian atau selalu dapat mengungkapkan sesuatu yang lain daripada yang lain.
4. Mampu
berpikir secara integral, bisa menghubungkan yang satu dengan yang lain serta
dapat membuat analisis yang tepat.
2.
Kebutuhan
akan Kreativitas
Ditinjau dari aspek kehidupan manapun, kebutuhan akan kreativitas
sangatlah terasa. misalnya saja pada jaman tekhnologi saat ini. Kita menghadapi
macam-macam tantangan baik dalam bidang ekonomi, kesehatan, politik maupun
dalam bidang budaya dan social. Peningkatan otomatisasi dalam perusahaan modern
mempunyai dampak berkurangnya tuntutan pemikiran yang konstruktif, pekerjaan
pun menjadi lebih ringan dan cepat selesai sehingga para pekerja memiliki
banyak waktu luang. Namun, banyaknya waktu luang ini tidak dimanfaatkan dengan
baik untuk penyaluran energy ke usaha atau ke kegiatan kreatif, yang biasanya
dilakukan oleh sebagian besar orang adalah mereka cenderung mengikuti hiburan
secara pasif atau melakukan kegiatan kelompok yang semuanya sudah ditentukan
aturan mainnya. Bahkan dalam kehidupan pribadi dan keluarga tampak
kecenderungan kuat ke arah pensteroetipan (klise), seakan-akan perilaku
orisinil atau yang “lain daripada yang lain” dirasakan sebagai sesuatu
yang aneh dan bahkan berbahaya.
Kemajuan teknologi dan ledakan penduduk yang disertai dengan
berkurangnya persediaan sumber-sumber alami di lain pihak, lebih-lebih lagi
menuntut setiap orang untuk dapat beradaptasi dengan memiliki pemikiran dan
kemampuan yang kreatif serta pemecahan yang imajinatif. Kesadaran akan
pentingnya kreativitas dewasa ini telah dirasakan oleh sebagian besar orang.
Bahkan banyak perusahaan dan bahkan departemen pemerintahan membutuhkan
orang-orang yang meiliki potensi kreatif, akan tetapi kebutuhan ini belum cukup
dapat dilayani.
3.
Pembinaan
Kreativitas melalui Pendidikan Seni di Sekolah Dasar
Anak usia SD merupakan masa keemasan berekspresi kreatif.
Kadar kreativitas anak masih sangat tinggi. anak dapat melakukan kegiatan
berolah seni secara wajar dan spontan, karena daya nalar anak belum sampai
membatasi keleluasaan untuk berkarya secara murni dan lugu. Ungkapan perasaan
anak yang masih polos memungkinkan mereka untuk berekspresi secara wajar dan
penuh spontan sehingga proses tersebut memiliki kebermaknaan bagi perkembangan
mereka. Masa anak-anak merupakan awal berkembangnya kreativitas. Kreativitas
tampak di awal kehidupan anak dan tampil dalam bentuk permainan. Seperti kita
ketahui bahwa usia Sekolah Dasar adalah usia bermain, kehidupan anak banyak dicurahkan
untuk bermain. Bermain adalah mencoret, mencoreng, berteriak, meloncat,
bergerak dan lainnya. Kegiatan bermain yang disenangi anak ini dapat diwujudkan
dalam pendidikan seni baik itu seni rupa, tari maupun music. Kegiatan-kegiatan
inilah yang diarahkan kepada pengembangan kreativitas.
Dengan demikian, berekspresi seni secara kreatif pada anak
dimanfaatkan untuk membina dan mengembangkan kreativitas anak pada usia dini.
Pendidikan merupakan usaha dalam membantu anak mencapai kesuksesannya, demikian
pula dengan pendidikan seni. Karena itu, segala cabang dalam seni dapat
digunakan sebagai media dalam bidang pendidikan. Seni sebagai cara dan seni
sebagai sarana. Seni sebagai sarana/media pendidikan adalah konsep pendidikan
seni yang sesuai bagi anak-anak sekolah dasar. Sedangkan seni sebagai tujuan
yang utama seringkali diselenggarakan di sekolah-sekolah seni atau disanggar.
Oleh sebab itu, untuk pendidikan seni di sekolah dasar, guru tidak mengajarkan
bagaimana untuk menggambar, bagaimana untuk menari dan bagimana untuk menyanyi
saja, tetapi juga harus mengarah kepada pembinaan dan pengembangan kreativitas
untuk mengangkat bakat dan potensi yang dimiliki oleh masing-masing siswa.
Dalam pendidikan seni, anak dibebaskan untuk mengekspresikan apa yang ada dalam
jiwanya baik itu melalui gambar, kegiatan menyanyi ataupun gerakan-gerakan
tari. Bebas berekspresi membuat anak dapat mengembangangkan apa yang ada dalam
dirinya, kreativitas anak untuk menciptakan sesuatu juga semakin berkembang.
Pada
usia SD, anak mengalami masa keingintahuan dan perkembangan kognitif, afektif
maupun psikomotor yang cepat. Perkembangan anak ini akan terhambat jika mereka
“dibunuh” rasa keingintahuan dan kreativitas mereka. Kreativitas anak pada masa
ini sangat beragam sesuai dengan tingkat kematangan dan perkembangan otak
mereka. Oleh karena itu, untuk menunjang perkembangan kreativitas anak agar
tumbuh optimal, pendidikan seni memegang peranan yang sangat penting yaitu
sebagai sarana yang dapat memfasilitasi anak dalam mengekspresikan pikiran dan
jiwa mereka. Tentu dengan bimbingan dan arahan dari guru, pendidikan seni
sangat membantu dalam meningkatkan dan mengoptimalisasikan perkembangan
kreativitas anak.
Wallas (1976)
dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001 mengemukakan empat tahap dalam proses kreatif
yaitu:
1) Tahap Persiapan; adalah tahap
pengumpulan informasi atau data sebagai bahan untuk memecahkan masalah. Dalam
tahap ini terjadi percobaan-percobaan atas dasar berbagai pemikiran kemungkinan
pemecahan masalah yang dialami.
2) Tahap Inkubasi; adalah tahap dieraminya
proses pemecahan masalah dalam alam prasadar. Tahap ini berlangsung dalam waktu
yang tidak menentu, bisa lama (berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun),
dan bisa juga hanya sebentar (hanya beberapa jam, menit bahkan detik). Dalam tahap
ini ada kemungkinan terjadi proses pelupaan terhadap konteksnya, dan akan
teringat kembali pada akhir tahap pengeraman dan munculnya tahap berikutnya.
3) Tahap Iluminasi; adalah tahap munculnya
inspirasi atau gagasan-gagasan untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini muncul
bentuk-bentuk cetusan spontan, seperti dilukiskan oleh Kohler dengan kata-kata
now, I see itu yang kurang lebihnya berarti “oh ya”.
4) Tahap Verifikasi; adalah tahap
munculnya aktivitas evaluasi tarhadap gagasan secara kritis, yang sudah mulai
dicocokkan dengan keadaan nyata atau kondisi realita.
Slamet
Suyanto (2005: 25) Tujuan pembelajaran seni adalah :
1. Membantu
anak mengekspresikan diri, melalui seni dapat meningkatkan kreatifitas anak
dengan mewujudkan imajinasinya dalam seni.
2. Melatih
anak untuk mencintai keindahan, kerapian dan keteraturan.
3. Memberi
kesempatan anak untuk mengenal berbagai benda, warna, bentuk, dan tekstur
secara kreatif dalam karya seni.
4. Dapat
melatih otot –otot halus seperti otot-otot jari tangan dan melatih koordinasi
antara tangan dan mata.
2.2.4
Pengembangan Ekspresi
Ekspresi merupakan pernyataan kejiwaan yang
berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam mencari kepuasan.
Ekpresi juga merupakan kebutuhan manusia dalam mengkomunikasikan isi hatinya
kepada pihak lain. Berekpresi dalam seni berarti menuangkan isi hati dengan
menggunakan sarana gambar, gerak, nada suara atau kata (Soehardjo, 1995). Bagi
anak-anak art itu bisa dijadikan alat/sarana untuk berekpresi “a
means of expretion” (Lowenfeld, 1982). Dalam berekspresi ini pikiran,
perasaan dan emosi anak ikut berperan. Ekspresi sering dapat diartikan
sebagai curahan jiwa/isi hati. Berlandaskan pada pengertian ini, ekspresi perlu
dikembangkan pada anak sejak dini agar anak mampu mengemukakan isi hati, ide
atau gagasan-gagasannya. Dengan demikian anak akan memiliki daya cipta, daya menyesuaikan diri dalam suatu situasi,
kemampuan menanggapi suatu masalah, daya
berpikir secara internal, dan kemampuan membuat analisis yang tepat.
Berdasarkan konteks tersebut, maka ekspresi pada dasarnya merupakan kebutuhan
dalam hidup manusia dalam mencari kepuasaan.
Ekspresi dapat dibedakan menjadi, yakni:
1. Ekspresi kreatif ialah ekspresi yang
menghasilkan sesuatu, seperti berkarya
seni rupa.
2. Ekspresi tidak kreatif ialah ekspresi yang tidak menghasilkan nilai-nilai
kreatif di dalamnya, seperti senyum, menjerit dan menangis.
Dampak ekspresipun dapat dibedakan menjadi dampak ekspresi yang positif dan ekspresi yang negatif. Fungsi
pembinaan dalam hal ini sangat
menentukan. Dengan dibina anak akan mengekspresikan sesuatu secara wajar yakni ekspresi yang disalurkan
dengan penuh
kesadaran/disadari.
Eksprsi yang negatif pada dasarnya disebabkan oleh bertumpuknya keinginan-keinginan
anak yang tidak tersalurkan. Kalaupun tersalurkan biasanya melalui hal yang
tidak wajar dan tidak disadari.
Ekspresi anak tentunya akan berbeda dengan ekspresi orang dewasa.
Anak biasanya lebih bebas dalam berekspresi, karena anak relatif belum banyak
pengetahuan tentang aturan-aturan/norma-norma yang mengikatnya. Karena
ketidaktahuan inilah anak cenderung lebihbebas dan leluasa dan tidak takut
salah, sehingga terkesan jujur dan spontan. Misalnya, lukisan tentang meja
makan dengan empat kalinya tampak semua, atau lukisan tentang rumah yang
penghuni dan isi rumahnya tampak dari luar seolah rumah kaca.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas, dapat
disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa merupakan pembelajaran yang terdiri
dari kegiatan apresiasi dan kreasi, serta menekankan adanya kreativitas pada
siswa untuk mengekspresikan perasaannya ke dalam bentuk karya seni rupa untuk
mencapai tujuan pembelajaran yang telah
Pendidikan seni sebagai bentuk untuk
membentuk sikap dan kepribadian anak
yang mempunyai fungsi-fungsi jiwa yang meliputi fantasi, sensitivitas, kreativitas dan ekspresi. Seseorang anak dapat
berfantasi terhadap hasil karyanya, melalui
perasaan anak menuangkan ide gagasannya kedalam hasil karya menjadikan anak sensitivitas, menjadikan anak
memiliki kreativitas yang baik, dan
mengekspresikan hasil karya seni.ditentukan.
3.2 Saran
Makalah
ini hanya sebagian kecil materi mengenai pendidikan seni sebaga fungsi-fungsi
jiwa. Untuk itu, pembaca dapat mencari dari sumber-sumber lain yang terkait. Kami
dari segenap penyusun memohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam
penyampaian materi ini.
DAFTAR PUSTAKA
Herawati,
Ida Siti. Iriaji. 1998. Pendidikan Seni Rupa. Jakarta: Depdikbud Dirjen
Pendidikan Tinggi.
Hurlock,
Elizabeth B. 1978. Perkembangan Anak Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Munandar,
Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta: Rineka
Cipta.
Komentar
Posting Komentar