EIFFEL
LOVE
Silvia
Dewi Yasmaniar
Di
sini, tepatnya di taman dekat Menara Eiffel adalah tempatku bertemu dengannya.
Ya, dia adalah kekasihku. Rafael Landry Tanubrata. Seorang berkebangsaan
Indonesia yang sedang kuliah di kota Paris ini. Aku sangat menyukai tempat ini.
Tempat ini adalah tempat paling bersejarah bagi keluargaku. Di sini, ayah dan
ibuku pertama kalinya bertemu dan berpisah. Ibuku menderita kanker otak yang
kini telah tiada setelah melahirkanku. Kini, aku tinggal bersama dengan ayahku
saja. Selain itu, tempat ini adalah tempat yang menemukan aku dengan seseorang
yang paling berarti dalam hidupku, yaitu suamiku. Namaku Eiffeline Alexandra.
Paris adalah
kota yang indah. Tapi kenapa aku tak bisa mendapatkan cinta dari sini. Kenapa
harus Rafael yang memikat hatiku.
Kini Rafael
sedang pulang ke Indonesia karena dia harus mengurusi perusahaan milik ayahnya.
Hanya untuk beberapa minggu saja, tapi bagiku ini berat sekali.
Waktu
menunjukkan pukul empat sore. Semilir angin di taman ini menusuk sampai hati.
Bulan ini adalah musim dingin. Akupun segera pergi dari tempat ini agar
tak membeku. Akupun menuju ke sebuah
kedai kopi di ujung jalan sana.
“Hai, kenapa kau
sendiri? Mana kekasihmu?” tanya pelayan itu yang bernama Morgan.
“Dia sedang
pulang ke Indonesia untuk beberapa minggu ini,” jawabku agak lesu.
“Sudahlah, tak
usah sedih. Kau mau pesan apa nona cantik?” kata Morgan yang memang ingin
menghiburku.
“Aku mau
Cappucino hangat,” ucapku lalu aku memilih meja.
Setelah beberapa
menit kemudian Morgan datang sambil membawa pesananku.
“Ini dia yang
kau tunggu. Boleh aku mengobrol? Selagi kedai ini ya lumayan sepi,” pinta
Morgan sambil memberikan senyuman khasnya.
“Tentu saja
boleh sahabatku,” aku juga membalas senyumannya.
Tak terasa sudah
satu jam berlalu. Kini aku harus pulang ke rumah. Aku berjalan menyusuri
alun-alun yang ramai. Ya, memang benar kota ini tak pernah sepi.
Sesampai di
rumah aku memutuskan untuk menghangatkan tubuhku dengan berendam di air panas.
Cukup enak karena di luar sana sedang turun salju lebat. Setelah selesai, aku
mencoba menghilangkan rasa bosanku dengan menonton televisi. Tak lama kemudian
ayahku datang.
“Selamat sore
putri cantik,” sambil mencium keningku.
“Selamat sore
ayah,” jawabku singkat.
“Apa ada masalah
hari ini? Kau terlihat sangat kacau sayang,”ayah memegang pipiku.
“Rafael pulang
ke Indonesia untuk beberapa minggu,” jawabku.
“Sudahlah, tak
usah sedih. Dia pasti akan cepat kembali untukmu,” kata ayah sambil membelai
rambutku.
“Tapi bagaimana
jika dia terpikat dengan wanita di negara asalnya? Aku tak mau itu terjadi
ayah,” keluhku.
“Sudah berapa
lama kau mengenal dia? Masa kau tak tau sikapnya? Sudahlah, ayah tau kalau dia
anak yang baik dan dia benar-benar mencintaimu,” ucap ayah bijak.
Kata-kata ayah
ini membuatku tertegun sejenak. Memang aku sudah hampir dua tahun mengenal
sosok Rafael. Tapi, aku tak tahan. Baru dua hari saja tak bersamanya, aku
terasa hidup tak sempurna. Untunglah ada Morgan, sahabatku juga sahabatnya.
Tapi tetap saja berbeda.
***
Morgan menyusuri
lorong rumah sakit. Malam ini ia tak lembur bekerja. Dia ingin menjenyuk
seseorang. Iapun membuka pintu ruang kamar.
“Permisi,”
sapanya pada seorang pria yang sedang terbaring lemah di atas ranjang.
“Hei, kenapa kau
tak bilang kalau mau kesini?” kata pria itu.
“Aku ingin
memberi kejutan padamu,” jawab Morgan.
“Kejutan? Apa ?
apakah ada hubungannya dengan Eiffeline?” ucapnya penasaran.
“Tentu saja.
Kalau bukan tentang Eiffeline, pasti tak akan membuatmu senang Raf,” kata
Morgan.
Pria itu adalah Rafael.
Ya, kekasih Eiffeline. Sebenarnya dia tak pulang ke Indonesia tetapi masih
menetap di Paris untuk melanjutkan pengobatannya. Dia tak mau Eiffeline tau dan
khawatir tentang ini. Jadi, dia merahasaiakannya. Untunglah ada Morgan yang
membuat rencana Rafael ini dapat berjalan.
“Eiffeline jadi
salah satu model di majalah terkenal di kota ini Raf. Aku sangat senang sekali.
Berkatmu, dia berubah. Dulu dia anak yang manja, sekarang dia sudah dapat
bekerja. Aku selalu mengamati setiap perubahannya. Sejak dia kanak-kanak sampai
dia menjadi sesosok Eiffeline yang sesungguhnya. Aku bangga padamu Raf,” kata
Morgan.
“Apa kau mau
membantuku lagi?” tanya Rafael pada Morgan.
“Tentu saja
sahabat terbaikku,” jawab Morgan dengan semangat.
“Aku ingin kau
dapat menjaga Eiffeline untukku,” pinta Rafael.
“Menjaga? Apa
maksudnya Raf? Aku benar-benar tak mengerti,” sontak Morgan kaget.
“Aku sudah tidak
bisa menjaganya lagi. Kanker otak ini sudah memasuki stadium akhir. Perkiraan
dokter aku hanya bisa bertahan sekitar satu bulan yang lalu. Berkat Eiffeline
dan kau, aku dapat memperpanjang umurku lebih dari satu bulan. Aku ingin kau
dapat membahagiakan Eiffeline di saat-saat terakhirku. Aku ingin dia dapat
selalu tersenyum walau tak bersamaku. Aku tahu kalau sebenarnya kau juga menyukainya
bahkan sebelum aku menyukainya,” kata Rafael.
“Jadi kau tahu
kalau aku juga menyukainya?” Morgan kaget.
“Yap, tentu.
Sorot matamu tak bisa membohongiku. Cepat janji padaku kalau kau akan
membahagiakannya!” paksa Rafael.
“Baiklah. Tapi
ini bukan untuk kesenanganku sendiri. Ini untuk kita. We are best friends. Tapi
bagaimana jika dia merindukanmu?” tanya Morgan.
“Aku sudah
pikirkan itu sebelumnya,” Rafael tersenyum.
***
Gumpalan salju
yang turun telah menyapaku untuk menyambut pagi ini. Aku harus ke kampus hari
ini. Rasanya agak berbeda karena biasanya ada pria yang mengantarku. Siapa lagi
kalau bukan Rafael. Tiba-tiba terdengar suara mobil terparkir di depa rumah.
Suaranya memang tak asing bagiku. Akupun segera berlari.
“Rafael,” aku
sungguh kaget. Akupun mendekat ke mobil itu.
“Hai Princess
Tanubrata, ayo kita ke kampus,” ucap pria dari dalam mobil milik Rafael yang
ternyata adalah Morgan.
“Mengapa kau
bisa memakai mobil milik Rafael?”
sungguh aku terkejut.
“Dia meminta
agar aku dapat merawat mobil kesayangannya,” jawab Morgan.
“Baiklah, itu
alasan yang masuk akal. Ayo kita pergi!” ucapku sambil memasuki mobil.
“Apakah kau tak
rindu pada Rafael?” tanya Morgan.
“Tentu saja aku
rindu,” jawabku.
“Nanti sore kita
ke taman dekat menara Eiffel ya!” pinta Morgan.
“Baiklah,
terserah maumu” jawabku singkat.
***
Pukul empat sore
ditemani dengan butiran salju yang terus berjatuhan ini aku pergi ke taman
bersama Morgan. Sudah beberapa hari aku tak kesini karena tak ada Rafael. Ini
adalah pertama kalinya aku dan Morgan pergi ke tempat ini hanya berdua saja.
“Indah bukan?”
tanya Morgan sambil menunjukkan suasana sekitar taman.
“Tentu, tapi
masih kurang lengkap jika tak ada Rafael di sini,” jawabku.
“Kita hidup di
dunia tak ditakdirkan akan selalu bersama. Ada waktu dan tempat saat kau tak
bersama dengannya. Seperti saat ini,” kata Morgan sambil menatapku.
“Aku tak salah
menjadikanmu sahabatku. Kau selalu ada untukku. Ketika Rafael ada maupun tak
ada. Janji ya kau tak akan jauh dariku Morgan?” sambi mengulurkan jari
kelingking kananku kepadanya sebagai tanda persahabatan.
“Tentu, mengapa
tidak? Aku akan selalu ada untukmu Eiffeline. Kau sangat berarti dalam
hidupku,” jawab Morgan dengan spontan.
“Sangat berarti?
Maksudnya apa? sungguh aku tak mengerti apa yang kau maksud itu,” aku sungguh
kaget mendengar kata-katanya.
“Emmm, kau sudah
menemaniku sejak kecil. Saat aku tak punya siapa-siapa lagi, kau dan ayahmu
hadir sebagai malaikatku. Bahkan, jika tak ada kau dan ayahmu, pasti aku tak
akan seperti ini,” Morgan terpaksa berbohong. Sebenarnya, dia jatuh cinta
kepada Eiffeline.
“Tak usah
mengungkit masa lalu. Aku juga sangat senang dapat mengenalmu,” ucapku.
“Rasanya udara semakin
dingin saja. Mari kita pulang!” ajak Morgan padaku.
“Baiklah
sahabatku, Handi Morgan Winata,” ucapku.
“Ayo kita ke
mobil sahabatku, Eiffeline Tanubrata,” kata Morgan sambil menarik lenganku.
***
Dear diary
Tempat itu akan
selalu ku ingat. Ifind a special someone. Aku merasa dia yang terbaik bagiku.
Kini aku hanya merindukan keadaannya. Walaupun ada seorang sahabat, tapi aku
tetap membutuhkannya. Apakah aku harus menyusul ke negaranya? Itu keputusan
yang sangat bodoh sekali. Aku takut kalau dia tertarik pada wanita lain di
negara asalnya. L
***
Suara
telepon rumahku berdering. Segera kuangkat telepon itu.
“....”
“Rafael!
Mengapa kau baru mengabariku sekarang?”
“....”
“Aku
sungguh rindu padamu,”
“....”
“Kapan
kau akan kembali?”
“....”
“Itu
sangat lama sekali bagiku”.
“....”
“Morgan?
Dia berbeda denganmu. Aku tak mencintainya. Aku sudah anggap dia seperti
kakakku sendiri”
“....”
“Kenapa kau
buru-buru?”
“....”
“Baiklah tuan
pengusaha. Jaga diri baik-baik di sana ya”
“....”
“I miss you”.
“....”
Tuuuuuttttttttttt
***
Hari ini aku
sempatkan diri untuk ke kedai kopi tempat Morgan bekerja. Aku bosan berada di
rumah. Biasanya ada Rafael yang mengajakku ke suatu tempat.
“Morgan ke rumah
sakit?” Tanyaku kaget.
“Iya. Beberapa
hari ini dia sering izin untuk ke rumah sakit,” kata salah satu teman kerja
Morgan.
“Morgan sakit
apa?” tanyaku lagi.
“Entahlah,
akhir-akhir ini dia berlaku aneh. Sudahlah, kau susul saja. Dia baru pergi
sekitar lima menit yang lalu. Kau ingin aku dimarahi bos ku karena
menelantarkan pelanggan hanya untuk mengobrol denganmu?” ujar pelayan itu.
“Baiklah aku
akan pergi,” kataku singkat.
***
Aku
berlari untuk menemukan Morgan. Kususuri jalan menuju sebuah rumah sakit
terbesar di kota ini. Kulihat seorang pria memakai jaket kulit berwarna hitam
serta kacamata hitam. Kuikuti pria itu.
“Tak
salah lagi, itu Morgan!” ujarku sambil kupercepat langkah kakiku.
“Siapa
yang sakit? Setahuku, Morgan tak punya saudara. Apa mungkin temannya? Atau
jangan-jangan kekasihnya? Curang sekali dia tak memberi tahu aku kalau dia
sudah punya pacar. Awas ya Morgan,” ucapku secara frontal yang melihat Morgan
masuk ke salah satu ruang rawat rumah sakit.
Kuperlahan
mengikuti Morgan. Lalu kuintip dari jendela kecil yang menempel pada pintu
ruang rawat itu. Aku sangatlah kaget. Jantungku berdetak kencang serasa ingin
terlepas dari tubuhku. Badanku dingin. Serasa aku seperti sudah tak bernyawa.
Itu Rafael, kekasihku.
Aku
langsung masuk ke dalam ruangan itu tanpa ada salam dan kata-kata lainnya. Tak
tahan dengan semua ini, air mataku mengalir menganak sungai. Seperti hujan yang
turun saat musim panas.
“Apa
maksud dari semua ini? Sungguh aku tak mengeti,” ucapku dengan nada tinggi.
“Biar
aku jelaskan,” ujar Morgan.
“Raf,
apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku.
“Maaf
aku telah membohongimu. Sebenarnya aku tak pulang ke Indonesia. Aku masih di
sini. Aku menyembunyikan penyakit ini darimu. Aku terkena kanker otak yang
sudah memasuki stadium akhir dan sebentar lagi aku akan pergi,” ucap Rafael.
“Apa
yang kau katakan? Aku tak ingin kau pergi. Kau
sudah berjanji akan selamanya bersamaku,” kataku.
“Sudahlah,
dengarkan dulu Rafael. Kau jangan menyalahkannya, ini takdir,” kata Morgan.
“Memang
aku yang salah karena tak mau berterus terang padamu. Tapi aku tak mau
mengganggu konsentrasi belajarmu karena penyakitku ini. Sebelum aku pergi untuk
selamanya, aku ingin dapat selalu melihatmu tersenyum di sisa akhir hidupku
ini. Kau bisa mengabulkannya bukan?” kata Rafael.
“Apapun
yang kau minta, akan kuturuti. Kecuali jika kau memintaku untuk melupakanmu.
Aku cinta kamu,” ucapku sambil memeluk Rafael.
***
Dear
diary
Aku sungguh tak mengerti rencana Tuhan.
Aku benar-benar belum siap ditinggalkannya. Siapa matahari yang akan menyinari
hatiku jika tak ada dia? Kau yang menakdirkanku bertemu dengannya. Kenapa kau
akan memanggilnya secepat itu? Tapi jika itu takdir, aku tidak bisa
mengubahnya. Tapi, izinkanlah aku untuk menjadi orang yang paling berarti di
sisa akhir hidupnya.
***
Suara
handphoneku berbunyi. Morgan Calling...
“....”
“Sekarang?
Ke rumah sakit?” ucapku kaget.
“....”
“Apa?”
Aku sungguh shock sampai-sampai handphoneku jatuh ke lantai.
Aku
segera mengabil tasku dan menuju rumah sakit.
***
“Apakah
kau sudah menghubungi Eiffeline?” tanya Rafael pada Morgan.
“Tentu
sudah. Baiklah akan ku telpon dia lagi,” jawab Morgan.
Tapi
hasilnya nihil. Nomorku tak bisa dihubungi karena handphoneku masih berserakan
di rumah.
“Nomornya
tak aktif. Mungkin dia sedang di jalan,” kata Morgan.
“Baiklah,
aku mau tidur dulu. Jika dia datang, bangunkan aku dengan lembut,” pesan
Rafael.
Lima
belas menit berlalu, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit. Rasa khawatir
yang menghantuiku tadi bertambah saat ku lihat seseorang yang sangatku cintai
sedang berjuang antara hidup dan mati.
“Rafael!”
dengan suara agak kencang.
“Sssstttttt,
dia sedang tidur. Mengapa kau lama sekali?” tanya Morgan.
“Taxi
yang mengantarku tadi sempat mogok. Bagaimana keadaannya?” tanyaku.
“Sama
seperti kemarin. Dia tadi ingin bertemu denganmu, tapi kau lama sekali. Mungkin
dia lelah, jadi dia tertidur. Karena kau sudah datang, aku akan
membangunkannya,” jawab Morgan.
“Raf,
dia telah datang,” Morgan membisikkan kata-kata itu dengan lembut di telinga
Rafael.
Rafael
tak kunjung bangun juga. Morgan mengulangi kata-kata itu sampai tiga kali. Tapi
tetap saja Rafael tidak bangun juga. Morganpun memencet bel yang ada di sebelah
ranjang.
“Apa
yang terjadi Gan?” tanyaku takut.
“Aku
juga tidak tau,” jawab Morgan.
Dokterpun
segera datang dan memeriksa Rafael. Namun, Tuhan meminta Rafael untuk pulang
sekarang. Rafael Landry Tanubrata kini hanya tinggal nama. Aku tak kuasa
kehilangan Rafael. Tapi, aku harus siap menerima kenyataan.
“Kau
harus kuat! Ada aku di sini untukmu,” kata Morgan yang memberi semangat padaku.
“Aku
pasti bisa. Selamat tinggal kekasihku. Aku akan selalu mencintaimu,” ucapku
sambil menghapus air mataku.
“Ini
ada titipan dari Rafael untukmu,” kata Morgan sambil memberikan sebuah kotak
berwarna merah muda kepadaku.
|
Hari
ini adalah hari pernikahan aku dengannya. Seorang yang tadinya sahabatku
sekarang menjadi pendamping hidupku. Handi Morgan Winata. Walapun aku tak
menjadi Nyonya Tanubrata, aku bisa menjadi Nyonya Winata. Tepatnya Nyonya
Eiffeline Winata. Sampai kapanpun, aku tak akan melupakan kisah cintaku ini.
Kisah ini aku beri judul “Eiffel Love”.
TAMAT
wah cerpennya seru sekali kak buat dibaca
BalasHapusmobil truk indonesia