Langsung ke konten utama

cerpen: Eiffel Love



EIFFEL LOVE
Silvia Dewi Yasmaniar

love_in_paris_by_incalzando-d306p08.jpgDi sini, tepatnya di taman dekat Menara Eiffel adalah tempatku bertemu dengannya. Ya, dia adalah kekasihku. Rafael Landry Tanubrata. Seorang berkebangsaan Indonesia yang sedang kuliah di kota Paris ini. Aku sangat menyukai tempat ini. Tempat ini adalah tempat paling bersejarah bagi keluargaku. Di sini, ayah dan ibuku pertama kalinya bertemu dan berpisah. Ibuku menderita kanker otak yang kini telah tiada setelah melahirkanku. Kini, aku tinggal bersama dengan ayahku saja. Selain itu, tempat ini adalah tempat yang menemukan aku dengan seseorang yang paling berarti dalam hidupku, yaitu suamiku. Namaku Eiffeline Alexandra.
Paris adalah kota yang indah. Tapi kenapa aku tak bisa mendapatkan cinta dari sini. Kenapa harus Rafael yang memikat hatiku.
Kini Rafael sedang pulang ke Indonesia karena dia harus mengurusi perusahaan milik ayahnya. Hanya untuk beberapa minggu saja, tapi bagiku ini berat sekali.
Waktu menunjukkan pukul empat sore. Semilir angin di taman ini menusuk sampai hati. Bulan ini adalah musim dingin. Akupun segera pergi dari tempat ini agar tak  membeku. Akupun menuju ke sebuah kedai kopi di ujung  jalan sana.
“Hai, kenapa kau sendiri? Mana kekasihmu?” tanya pelayan itu yang bernama Morgan.
“Dia sedang pulang ke Indonesia untuk beberapa minggu ini,” jawabku agak lesu.
“Sudahlah, tak usah sedih. Kau mau pesan apa nona cantik?” kata Morgan yang memang ingin menghiburku.
“Aku mau Cappucino hangat,” ucapku lalu aku memilih meja.
Setelah beberapa menit kemudian Morgan datang sambil membawa pesananku.
“Ini dia yang kau tunggu. Boleh aku mengobrol? Selagi kedai ini ya lumayan sepi,” pinta Morgan sambil memberikan senyuman khasnya.
“Tentu saja boleh sahabatku,” aku juga membalas senyumannya.
Tak terasa sudah satu jam berlalu. Kini aku harus pulang ke rumah. Aku berjalan menyusuri alun-alun yang ramai. Ya, memang benar kota ini tak pernah sepi.
Sesampai di rumah aku memutuskan untuk menghangatkan tubuhku dengan berendam di air panas. Cukup enak karena di luar sana sedang turun salju lebat. Setelah selesai, aku mencoba menghilangkan rasa bosanku dengan menonton televisi. Tak lama kemudian ayahku datang.
“Selamat sore putri cantik,” sambil mencium keningku.
“Selamat sore ayah,” jawabku singkat.
“Apa ada masalah hari ini? Kau terlihat sangat kacau sayang,”ayah memegang pipiku.
“Rafael pulang ke Indonesia untuk beberapa minggu,” jawabku.
“Sudahlah, tak usah sedih. Dia pasti akan cepat kembali untukmu,” kata ayah sambil membelai rambutku.
“Tapi bagaimana jika dia terpikat dengan wanita di negara asalnya? Aku tak mau itu terjadi ayah,” keluhku.
“Sudah berapa lama kau mengenal dia? Masa kau tak tau sikapnya? Sudahlah, ayah tau kalau dia anak yang baik dan dia benar-benar mencintaimu,” ucap ayah bijak.
Kata-kata ayah ini membuatku tertegun sejenak. Memang aku sudah hampir dua tahun mengenal sosok Rafael. Tapi, aku tak tahan. Baru dua hari saja tak bersamanya, aku terasa hidup tak sempurna. Untunglah ada Morgan, sahabatku juga sahabatnya. Tapi tetap saja berbeda.
***
Morgan menyusuri lorong rumah sakit. Malam ini ia tak lembur bekerja. Dia ingin menjenyuk seseorang. Iapun membuka pintu ruang kamar.
“Permisi,” sapanya pada seorang pria yang sedang terbaring lemah di atas ranjang.
“Hei, kenapa kau tak bilang kalau mau kesini?” kata pria itu.
“Aku ingin memberi kejutan padamu,” jawab Morgan.
“Kejutan? Apa ? apakah ada hubungannya dengan Eiffeline?” ucapnya penasaran.
“Tentu saja. Kalau bukan tentang Eiffeline, pasti tak akan membuatmu senang Raf,” kata Morgan.
Pria itu adalah Rafael. Ya, kekasih Eiffeline. Sebenarnya dia tak pulang ke Indonesia tetapi masih menetap di Paris untuk melanjutkan pengobatannya. Dia tak mau Eiffeline tau dan khawatir tentang ini. Jadi, dia merahasaiakannya. Untunglah ada Morgan yang membuat rencana Rafael ini dapat berjalan.
“Eiffeline jadi salah satu model di majalah terkenal di kota ini Raf. Aku sangat senang sekali. Berkatmu, dia berubah. Dulu dia anak yang manja, sekarang dia sudah dapat bekerja. Aku selalu mengamati setiap perubahannya. Sejak dia kanak-kanak sampai dia menjadi sesosok Eiffeline yang sesungguhnya. Aku bangga padamu Raf,” kata Morgan.
“Apa kau mau membantuku lagi?” tanya Rafael pada Morgan.
“Tentu saja sahabat terbaikku,” jawab Morgan dengan semangat.
“Aku ingin kau dapat menjaga Eiffeline untukku,” pinta Rafael.
“Menjaga? Apa maksudnya Raf? Aku benar-benar tak mengerti,” sontak Morgan kaget.
“Aku sudah tidak bisa menjaganya lagi. Kanker otak ini sudah memasuki stadium akhir. Perkiraan dokter aku hanya bisa bertahan sekitar satu bulan yang lalu. Berkat Eiffeline dan kau, aku dapat memperpanjang umurku lebih dari satu bulan. Aku ingin kau dapat membahagiakan Eiffeline di saat-saat terakhirku. Aku ingin dia dapat selalu tersenyum walau tak bersamaku. Aku tahu kalau sebenarnya kau juga menyukainya bahkan sebelum aku menyukainya,” kata Rafael.
“Jadi kau tahu kalau aku juga menyukainya?” Morgan kaget.
“Yap, tentu. Sorot matamu tak bisa membohongiku. Cepat janji padaku kalau kau akan membahagiakannya!” paksa Rafael.
“Baiklah. Tapi ini bukan untuk kesenanganku sendiri. Ini untuk kita. We are best friends. Tapi bagaimana jika dia merindukanmu?” tanya Morgan.
“Aku sudah pikirkan itu sebelumnya,” Rafael tersenyum.
***
Gumpalan salju yang turun telah menyapaku untuk menyambut pagi ini. Aku harus ke kampus hari ini. Rasanya agak berbeda karena biasanya ada pria yang mengantarku. Siapa lagi kalau bukan Rafael. Tiba-tiba terdengar suara mobil terparkir di depa rumah. Suaranya memang tak asing bagiku. Akupun segera berlari.
“Rafael,” aku sungguh kaget. Akupun mendekat ke mobil itu.
“Hai Princess Tanubrata, ayo kita ke kampus,” ucap pria dari dalam mobil milik Rafael yang ternyata adalah Morgan.
“Mengapa kau bisa memakai mobil milik Rafael?”  sungguh aku terkejut.
“Dia meminta agar aku dapat merawat mobil kesayangannya,” jawab Morgan.
“Baiklah, itu alasan yang masuk akal. Ayo kita pergi!” ucapku sambil memasuki mobil.
“Apakah kau tak rindu pada Rafael?” tanya Morgan.
“Tentu saja aku rindu,” jawabku.
“Nanti sore kita ke taman dekat menara Eiffel ya!” pinta Morgan.
“Baiklah, terserah maumu” jawabku singkat.
***

Pukul empat sore ditemani dengan butiran salju yang terus berjatuhan ini aku pergi ke taman bersama Morgan. Sudah beberapa hari aku tak kesini karena tak ada Rafael. Ini adalah pertama kalinya aku dan Morgan pergi ke tempat ini hanya berdua saja.
“Indah bukan?” tanya Morgan sambil menunjukkan suasana sekitar taman.
“Tentu, tapi masih kurang lengkap jika tak ada Rafael di sini,” jawabku.
“Kita hidup di dunia tak ditakdirkan akan selalu bersama. Ada waktu dan tempat saat kau tak bersama dengannya. Seperti saat ini,” kata Morgan sambil menatapku.
“Aku tak salah menjadikanmu sahabatku. Kau selalu ada untukku. Ketika Rafael ada maupun tak ada. Janji ya kau tak akan jauh dariku Morgan?” sambi mengulurkan jari kelingking kananku kepadanya sebagai tanda persahabatan.
“Tentu, mengapa tidak? Aku akan selalu ada untukmu Eiffeline. Kau sangat berarti dalam hidupku,” jawab Morgan dengan spontan.
“Sangat berarti? Maksudnya apa? sungguh aku tak mengerti apa yang kau maksud itu,” aku sungguh kaget mendengar kata-katanya.
“Emmm, kau sudah menemaniku sejak kecil. Saat aku tak punya siapa-siapa lagi, kau dan ayahmu hadir sebagai malaikatku. Bahkan, jika tak ada kau dan ayahmu, pasti aku tak akan seperti ini,” Morgan terpaksa berbohong. Sebenarnya, dia jatuh cinta kepada Eiffeline.
“Tak usah mengungkit masa lalu. Aku juga sangat senang dapat mengenalmu,” ucapku.
“Rasanya udara semakin dingin saja. Mari kita pulang!” ajak Morgan padaku.
“Baiklah sahabatku, Handi Morgan Winata,” ucapku.
“Ayo kita ke mobil sahabatku, Eiffeline Tanubrata,” kata Morgan sambil menarik lenganku.
***
Dear diary
Tempat itu akan selalu ku ingat. Ifind a special someone. Aku merasa dia yang terbaik bagiku. Kini aku hanya merindukan keadaannya. Walaupun ada seorang sahabat, tapi aku tetap membutuhkannya. Apakah aku harus menyusul ke negaranya? Itu keputusan yang sangat bodoh sekali. Aku takut kalau dia tertarik pada wanita lain di negara asalnya. L
***

            Suara telepon rumahku berdering. Segera kuangkat telepon itu.
            “....”
            “Rafael! Mengapa kau baru mengabariku sekarang?”
            “....”
            “Aku sungguh rindu padamu,”
            “....”
            “Kapan kau akan kembali?”
            “....”
            “Itu sangat lama sekali bagiku”.
            “....”
            “Morgan? Dia berbeda denganmu. Aku tak mencintainya. Aku sudah anggap dia seperti kakakku sendiri”
“....”
“Kenapa kau buru-buru?”
“....”
“Baiklah tuan pengusaha. Jaga diri baik-baik di sana ya”
“....”
“I miss you”.
“....”
Tuuuuuttttttttttt
***
Hari ini aku sempatkan diri untuk ke kedai kopi tempat Morgan bekerja. Aku bosan berada di rumah. Biasanya ada Rafael yang mengajakku ke suatu tempat.
“Morgan ke rumah sakit?” Tanyaku kaget.
“Iya. Beberapa hari ini dia sering izin untuk ke rumah sakit,” kata salah satu teman kerja Morgan.
“Morgan sakit apa?” tanyaku lagi.
“Entahlah, akhir-akhir ini dia berlaku aneh. Sudahlah, kau susul saja. Dia baru pergi sekitar lima menit yang lalu. Kau ingin aku dimarahi bos ku karena menelantarkan pelanggan hanya untuk mengobrol denganmu?” ujar pelayan itu.
“Baiklah aku akan pergi,” kataku singkat.
***
            Aku berlari untuk menemukan Morgan. Kususuri jalan menuju sebuah rumah sakit terbesar di kota ini. Kulihat seorang pria memakai jaket kulit berwarna hitam serta kacamata hitam. Kuikuti pria itu.
            “Tak salah lagi, itu Morgan!” ujarku sambil kupercepat langkah kakiku.
            “Siapa yang sakit? Setahuku, Morgan tak punya saudara. Apa mungkin temannya? Atau jangan-jangan kekasihnya? Curang sekali dia tak memberi tahu aku kalau dia sudah punya pacar. Awas ya Morgan,” ucapku secara frontal yang melihat Morgan masuk ke salah satu ruang rawat rumah sakit.
            Kuperlahan mengikuti Morgan. Lalu kuintip dari jendela kecil yang menempel pada pintu ruang rawat itu. Aku sangatlah kaget. Jantungku berdetak kencang serasa ingin terlepas dari tubuhku. Badanku dingin. Serasa aku seperti sudah tak bernyawa. Itu Rafael, kekasihku.
            Aku langsung masuk ke dalam ruangan itu tanpa ada salam dan kata-kata lainnya. Tak tahan dengan semua ini, air mataku mengalir menganak sungai. Seperti hujan yang turun saat musim panas.
            “Apa maksud dari semua ini? Sungguh aku tak mengeti,” ucapku dengan nada tinggi.
            “Biar aku jelaskan,” ujar Morgan.
            “Raf, apa yang sebenarnya terjadi?” tanyaku.
            “Maaf aku telah membohongimu. Sebenarnya aku tak pulang ke Indonesia. Aku masih di sini. Aku menyembunyikan penyakit ini darimu. Aku terkena kanker otak yang sudah memasuki stadium akhir dan sebentar lagi aku akan pergi,” ucap Rafael.
            “Apa yang kau katakan? Aku tak ingin kau pergi. Kau  sudah berjanji akan selamanya bersamaku,” kataku.
            “Sudahlah, dengarkan dulu Rafael. Kau jangan menyalahkannya, ini takdir,” kata Morgan.
            “Memang aku yang salah karena tak mau berterus terang padamu. Tapi aku tak mau mengganggu konsentrasi belajarmu karena penyakitku ini. Sebelum aku pergi untuk selamanya, aku ingin dapat selalu melihatmu tersenyum di sisa akhir hidupku ini. Kau bisa mengabulkannya bukan?” kata Rafael.
            “Apapun yang kau minta, akan kuturuti. Kecuali jika kau memintaku untuk melupakanmu. Aku cinta kamu,” ucapku sambil memeluk Rafael.
            ***
            Dear diary
Aku sungguh tak mengerti rencana Tuhan. Aku benar-benar belum siap ditinggalkannya. Siapa matahari yang akan menyinari hatiku jika tak ada dia? Kau yang menakdirkanku bertemu dengannya. Kenapa kau akan memanggilnya secepat itu? Tapi jika itu takdir, aku tidak bisa mengubahnya. Tapi, izinkanlah aku untuk menjadi orang yang paling berarti di sisa akhir hidupnya.
            ***
            Suara handphoneku berbunyi. Morgan Calling...
            “....”
            “Sekarang? Ke rumah sakit?” ucapku kaget.
            “....”
            “Apa?” Aku sungguh shock sampai-sampai handphoneku jatuh ke lantai.
            Aku segera mengabil tasku dan menuju rumah sakit.
            ***
            “Apakah kau sudah menghubungi Eiffeline?” tanya Rafael pada Morgan.
            “Tentu sudah. Baiklah akan ku telpon dia lagi,” jawab Morgan.
            Tapi hasilnya nihil. Nomorku tak bisa dihubungi karena handphoneku masih berserakan di rumah.
            “Nomornya tak aktif. Mungkin dia sedang di jalan,” kata Morgan.
            “Baiklah, aku mau tidur dulu. Jika dia datang, bangunkan aku dengan lembut,” pesan Rafael.
            Lima belas menit berlalu, akhirnya aku sampai juga di rumah sakit. Rasa khawatir yang menghantuiku tadi bertambah saat ku lihat seseorang yang sangatku cintai sedang berjuang antara hidup dan mati.
            “Rafael!” dengan suara agak kencang.
            “Sssstttttt, dia sedang tidur. Mengapa kau lama sekali?” tanya Morgan.
            “Taxi yang mengantarku tadi sempat mogok. Bagaimana keadaannya?” tanyaku.
            “Sama seperti kemarin. Dia tadi ingin bertemu denganmu, tapi kau lama sekali. Mungkin dia lelah, jadi dia tertidur. Karena kau sudah datang, aku akan membangunkannya,” jawab Morgan.
            “Raf, dia telah datang,” Morgan membisikkan kata-kata itu dengan lembut di telinga Rafael.
            Rafael tak kunjung bangun juga. Morgan mengulangi kata-kata itu sampai tiga kali. Tapi tetap saja Rafael tidak bangun juga. Morganpun memencet bel yang ada di sebelah ranjang.
            “Apa yang terjadi Gan?” tanyaku takut.
            “Aku juga tidak tau,” jawab Morgan.
            Dokterpun segera datang dan memeriksa Rafael. Namun, Tuhan meminta Rafael untuk pulang sekarang. Rafael Landry Tanubrata kini hanya tinggal nama. Aku tak kuasa kehilangan Rafael. Tapi, aku harus siap menerima kenyataan.
            “Kau harus kuat! Ada aku di sini untukmu,” kata Morgan yang memberi semangat padaku.
            “Aku pasti bisa. Selamat tinggal kekasihku. Aku akan selalu mencintaimu,” ucapku sambil menghapus air mataku.
            “Ini ada titipan dari Rafael untukmu,” kata Morgan sambil memberikan sebuah kotak berwarna merah muda kepadaku.
For My Eiffeline

Jika kau membaca surat ini, berarti aku telah pergi.
Maafkan aku yang tak bisa menepati janjiku untuk selalu menjagamu, maafkan aku karena aku telah merahasiakan semua ini.
Hapuslah air matamu, memang ku tak bisa datang untukmu, memang hidup kadang susah dan buat gelisah.
Walaupun aku telah pergi untuk selamanya, kau sudah dapatkan penggantiku, yaitu Morgan. Dia juga sangat mencintaimu, sama sepertiku. Aku yakin dia bisa menjagamu, dan bisa membuatmu selalu tersenyum. Janji padaku kalau kau akan bahagia dengannya setelah aku pergi!
Genggamlah tanganya, dia akan selalu mendukungmu setiap waktu.
Berhentilah menangis dan buat kehidupan baru dengannya. Itu adalah permintaan terakhirku.



Rafael Landry Tanubrata

 
            ***













 



            Hari ini adalah hari pernikahan aku dengannya. Seorang yang tadinya sahabatku sekarang menjadi pendamping hidupku. Handi Morgan Winata. Walapun aku tak menjadi Nyonya Tanubrata, aku bisa menjadi Nyonya Winata. Tepatnya Nyonya Eiffeline Winata. Sampai kapanpun, aku tak akan melupakan kisah cintaku ini. Kisah ini aku beri judul “Eiffel Love”.

            TAMAT

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

makalah seni musik tradisional nusantara

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Musik yang telah lama hidup dan berkembang di Negara Indonesia yang tercinta ini, diciptakan oleh nenek moyang bangsa Indonesia dan memiliki sifat turun-temurun secara tradisional dari generasi yang satu kegenerasi berikutnya. Dari proses pewarisan yang turun temurun inilah musik jenis ini hidup dan berkembang sampai saat ini. Musik-musik ini sering disebut dengan istilah musik tradisioal yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena musik tradisional yang ada di Indonesia merupakan hasil karya cipta setiap suku bangsa (Batak, Dayak, Mentawai, Papua, Riau, Sunda, Jawa, Bali, dan sebagainya) yang hidup di bumi ini. Maka banyaknya jenis musik yang ada di tentukan oleh jumlah suku bangsa Indonesia yang cukup banyak. Selain itu, setiap suku bangsa yang hidup di Indonesia memiliki jenis musik yang berbeda dengan musik yang berkembang pada suku-suku bangsa lainnya di Negeri ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa musik tradisional adalah merup

Makalah Sejarah Linguistik

MAKALAH  SEJARAH LINGUISTIK Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Linguistik Umum Disusun oleh: Silvia Dewi Yasmaniar (15.3.01.0875)                                                         Dosen pembimbing Holik Mulyono S.Pd FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN STKIP PANGERAN DHARMA KUSUMA INDRAMAYU 2015 KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.   Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang saya ingat. Segala puji hanya layak untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah tentang linguistik dengan judul ”SEJARAH LINGUISTIK”. Dalam penyusunannya, saya memperoleh banyak bantuan dari berbagai pihak, karena itu saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada yang telah memberikan dukungan dan kepercayaan yang begitu besar. Dari sanal

Karya Ilmiah: Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Tanaman Kangkung

PENGARUH MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KANGKUNG KARYA ILMIAH Diajukan untuk Melengkapi Salah Satu Tugas Mata Pelajaran B iologi oleh: Catur Daniarsih Chintya Refilita Eva Oktaviani Silvia Dewi Yasmaniar Siti Rukoyah Sofiah Kelas:   XI I IPA 4 DINAS PENDIDIKAN NASIONAL SMA NEGERI 1 CIASEM Jalan Margasari 2 Sukamandi – Subang 41256 Telp.(0260) 520 190 Website : http//www.sman1ciasem.com Tahun Pelajaran 201 4 /201 5 Karya ilmiah yang berjudul PENGARUH MEDIA TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN KANGKUNG telah dibaca dan disetujui pada November 2014 oleh Kepala SMA Negeri 1 Ciasem,                                        Pembimbing, Ujang Sonjaya, S.Pd, M.M                                              Rina Linawati S.Pd . NIP 19641111198803100                                               NIP 197506221999032003 Ku persembahkan tuk: 1.       Bapak dan Ibu tercinta. 2.       Ibu gur